Suatu hari, Hidup berdiri di depan cermin. Ia meraba jengkah
demi jengkah pantulan bayangannya di cermin itu, lalu berhenti di satu titik.
Ia memandang jemarinya membeku di titik itu, semakin kuat tercengkram pada
bagian itu. Bola matanya pun tak bergerak, penuh terpusat pada bayangan tanpa
dosa itu. Baik-baik saja. Tidak ada yang rusak, luka, atau buruk. Namun semakin
lama Hidup menatapnya, matanya semakin perih dan ia pun tak kuasa membendung
sakit yang mendesak dadanya. Ia menangisi bayangan itu, tiada bisa diungkap
melalui aksen apapun...