Suatu hari, Hidup berdiri di depan cermin. Ia meraba jengkah
demi jengkah pantulan bayangannya di cermin itu, lalu berhenti di satu titik.
Ia memandang jemarinya membeku di titik itu, semakin kuat tercengkram pada
bagian itu. Bola matanya pun tak bergerak, penuh terpusat pada bayangan tanpa
dosa itu. Baik-baik saja. Tidak ada yang rusak, luka, atau buruk. Namun semakin
lama Hidup menatapnya, matanya semakin perih dan ia pun tak kuasa membendung
sakit yang mendesak dadanya. Ia menangisi bayangan itu, tiada bisa diungkap
melalui aksen apapun dari dirinya. Semua abstrak dan halus. Tidak semudah
mengartikan air mata, karena seperti tidak terkoordinasi dengan benar, setiap
gerak tubuh Hidup tidak bersatu pada yang seharusnya.
“Manusia itu.. Mereka berpura-pura tidak mengerti. Mereka
berpura-pura tuli. Mereka tidak berusaha melihat apa yang terlihat melalui sisi murni. Merasa benar karena mereka melihat orang lain. Tetap merasa benar. Tanpa mereka tahu,
untuk apa mereka ada di antaraku jika bukan untuk mencapai kebenaran? Bukan merasa
dibenarkan.”
Lalu Malam datang, menepuk pundak Hidup dan berkata,
“Manusia itu.. Mereka berpura-pura tidak mengerti. Mereka
berpura-pura tuli. Mengapa mereka tidak membuat hidup mereka lebih berguna?
Mereka bahkan tidak menganggapku kesempatan, padahal aku ada di sana agar
mereka sempat merenung. Mereka sibuk memikirkan mengapa orang itu dan ternyata
orang itu. Aku tak pernah mendengar mengapa
aku selama ini dan bagaimana aku
besok. Mereka penuh prasangka.”
Hidup lalu mengusap air matanya lalu mempertegas sudut
matanya, menatap tajam pada malam.
“Mereka memang penuh
prasangka, namun Tuhan tidak menciptakan mereka untuk ‘bodoh’! Tidakkah mereka
menghargai itu? Tidakkah mereka hendak menggunakannya? Manusia penuh prasangka,
namun manusia bukan berarti tidak mampu mengendalikan prasangka mereka. Kalau
mereka mau sia-siakan suatu hal, jangan sia-siakan aku! Jika aku boleh kecewa
atau menyesal tanpa sia-sia, aku
bukan berarti tidak ingin! Namun beginilah aku diciptakan, untuk mereka tiadakan. Untuk mereka anggap
bisu dan tidak melihat apapun, tidak berpikiran apapun, serta tidak merasakan apapun.
Mereka tetap merasa benar, mereka memang
makhluk pintar. Tidak perlu kuragukan.”