Di tengah teriknya sinar matahari,
sekelompok dari mereka tetap harus berada di lapangan. Kalau bukan karena
jadwal pelajaran menuntut mereka memenuhinya—entah bagaimana pun caranya,
termasuk mengganti kehadiran dengan selembar kertas bertuliskan alasan—mereka
akan bersikeras bahwa ini tidak seharusnya terjadi.
Salah satu dari mereka pula, seorang
gadis yang di bawah langit berawan pun tidak tahan berlari cukup jauh, meski
demikian tetap menyukai pendidikan jasmani sekejam apa pun itu menyiksanya.
Lalu pagi—yang beranjak siang—itu membuatnya termenung sambil berpikir.
“Jelaslah, kalau dia sudah bermain lebih baik kita mundur. Tidak mungkin
dikalahkan.”
“Wah, awas ini! Ayo siap-siap semua, pukulannya pasti jauh!”
Kalimat-kalimat itu membuatku teringat suatu saat. Saat ketika gelas yang
kututup rapat-rapat menumpahkan air yang setiap detik kutuang ke dalamnya.
Ketika biasanya aku sibuk melapisi gelas itu agar tak bercelah, kecuali saat
itu. Terlalu banyak air dituang, air yang telah lama berada dalam gelas pun
menggenang semakin ke permukaan, tumpah dan menjadikan gelas itu tak berguna.
Dan kalimat itu… Apakah seorang pelari akan selalu dapat berlari? Dan seorang
perenang tidak mungkin tenggelam? Apakah dia yang tertawa tak mudah menangis? Bahkan
gelas dapat menumpahkan isinya.
Sebenarnya apa yang bisa kuperbuat? Aku hanyalah aku. Tak terdefinisi,
hanya penuh dengan kemungkinan. Aku hanyalah penulis cerita dalam sebuah
cerita, yang mengetahui alur ceritaku lebih dari yang kutulis.
Jadi, mungkin lebih baik melihat mereka sebagai mereka? Selanjutnya,
tidak perlu menyalahkan ekspektasi, bukan? Mungkin…