~***~
ZANTEDESCHIA
Karya
Raisadinda
Pramesti
~***~
"Calla lily (zantedeschia)--bunga lili putih" |
Sejak
diagnosis penyakit menjangkiti tubuh mungil Calla, dua bulan yang begitu
singkat dan terasa tak pernah cukup untuk membuatnya siap. Sekali pun waktunya
yang tak lebih dari sekali debur ombak dihabiskannya untuk mengasing dari
segalanya yang bernyawa, apa yang beruntung di dunia, mereka yang punya mimpi
dan harapan—tentu saja masa depan,
mungkin tetap tak ada kesempatan melupakan tawaran hidup. Bernafas dengan
sisa-sisa keberanian untuk bertahan.
Tapi, bertahan macam apa yang mungkin disanggupinya? Tidak benar-benar bisa
disebut bertahan, hanya.. merasakan waktu, yang jelas membuatnya semakin
merutuki masa lalu. Kebisuannya tak bisa disalahkan. Telak. Bukan berarti
orang-orang begitu saja maklum, karena jelas perkara ini memutar balikkan
fakta. Mungkin saja, menyendiri bukan satu-satunya solusi yang bisa ditimbang,
atau datang serta merta menutup kemungkinan lain yang memang tidak mengubah
keadaan, setidaknya tidak ada potensi lebih buruk. Jelas lebih tidak mungkin
jika cara ini menjadi pilihan pertama Calla di balik selaksa imajinasinya yang
tak ubahnya warna tumpah dalam semburat senja. Bukan caranya. Ternyata, beban batin ini jauh lebih tidak dapat
diduga bahkan tak memiliki bayangan. Terdesak lumbung udara yang gelap tapi
membentuk warna-warna, maya. Ya,
warna-warna—hitam mengabu-abu—yang
bahkan tak terlalu bertahan dalam penjara yang dibuatnya sendiri, tak berhasil bangkit
dalam dunia yang mengadakannya. Dan bukankah dia ada, tapi mengartikan makna
tanpa terjemah? Tak terjangkau.
Lagi,
suara parau terisak yang tak pernah menjadi bagian keputusan Calla—secara
sengaja—terdengar bertahan dalam gelombangnya. Seperti karang yang ditakdirkan
untuk ombak. Dan suara itu, mengucapkan lantunan kalimat yang begitu klasik.
Dengan generasi waktu yang berbeda, situasi yang seharusnya sudah lama terbaca
dan jelas segalanya telah berubah, lantunan kata itu tak bermaksud terganti. Itu masih sama—dialognya, nadanya,
intonasinya—yang membuat Calla tertegun setiap merasakan batas dengan suara
itu, meski hanya hamparan kayu membilah pintu. Ia takut, masih ada yang bisa ia
rindukan saat ia harus pergi nanti.
Mengapa kalian seperti itu? Mengapa
kalian harus seperti
itu? Bukankah banyak prioritas yang kalian miliki? Tapi mengapa harus begini?
Bukannya
tidak mungkin kembali dan menikmati yang berhak menjadi miliknya meski sesaat,
namun konsekuensi berikutnya yang bisa jadi tidak mungkin sanggup
ditanggungnya. Sejauh ini, hanya segelintir hal yang berlalu sewajarnya. Calla
menangis, bukan untuk penyakit ini—toh, air mata bukan sejenis obat—tapi untuk
setiap bulir warna terumbu yang melukis dasar samudera, kebahagiaan. Normal,
karena ia bisa merasakan apa yang semestinya dirasakannya. Menangis.
Calla
melangkah ke sudut balkon dan mengenang, sesekali tatapannya jatuh pada
hamparan kanvas yang bercoreng cat, menggubah kisah bentangan padang lili putih—zantedeschia—waktu senja. Dan, apapun
impian yang terpaut bersamanya, tak sepenuhnya berarti saat senja semakin jelas
berpisah. Ketika kedamaian langit guncang dan sewaktu-waktu menimpa zaman,
bahkan sebelum impian itu menjelang, harapan sudah bertumpu penyerahan. Tapi
itu hanya angan yang ditolaknya, hingga saat
ini. Saat di mana Calla tidak akan terbunuh oleh penyakit, namun oleh mimpi
dan harapannya selama ini—menyematkan senyum dalam kedamaian kecil zantedeschia-nya.
Diagnosis
leukemia lymphoblastic-nya tidak
seburuk kenyataan lain yang seolah belum puas dengan serangan takdir yang
seharusnya cukup mematahkan tulang juang Calla. Canna, sahabat kecil Calla,
yang menghabiskan nyaris sepenuhnya umur mereka untuk mengenal dunia bersama,
menerjemahkan bahasa alam yang penuh makna cita dan kehidupan—membuat mereka
merasa beruntung dengan masa depan yang mereka perjuangkan. Ia terserang sindroma caplan—penyakit sejenis
paru-paru hitam akibat paparan debu batu bara dalam jangka waktu cukup lama—di
mana penyakit tersebut belum ditentukan metode penyembuhan total.
Dua
hari yang lalu, Calla tahu ia kehilangan sahabat terbaiknya, tidak sekedar
untuk senyampang waktu, dan dia lebih merasa kehilangan jiwa terhadap kenyataan
ini. Ia juga tahu orang tua Canna depresi dan bagaimana tidak? Melepaskan gadis
penuh teguran jiwa, kebeningan batin, dan filosof makna yang familier
dimengerti namun sarat kebenaran bukan setaranya sehembusan angin semata. Di
sisi lain dukanya, Calla menemukan senyumnya—miris. Teringat persis ucapan
Canna ketika kehilangan kakaknya beberapa tahun lalu,
Mereka yang menghilang, tak
memiliki batas di antara kita. Semudah hidup menyusul mereka yang tiada. Meski
yang tiada memiliki lika-likunya sendiri nanti, keabadian yang sebenarnya hanya
satu. Sepedih mereka yang pergi dan tak kembali, dan kelak bertemu tapi tak
mengenali. Sesederhana itu. Antara hidup dan mati.
Calla
tak bisa berbohong, membohongi dirinya pun ia tak memiliki alasan. Ia memang
bisa sedikit menakar, sisa masa yang tersisih untuknya—paling tidak, bukan
waktu yang bisa membuat siapa pun tidur dan bermimpi. Namun setelahnya—setelah
Canna memandangnya penuh tanya di keabadian—bukan keinginannya mempersulit yang
rumit, bukan berharap segera mengakhiri yang disebutnya rumit, tapi bukan
berarti mudah menentukan manfaat atas semua hal rumit ini. Karena sedikit pun,
manfaat tidak tampak berguna.
Beberapa
hari kemudian, Calla muncul di ambang pintu rumahnya. Sikap sederhana itu tetap
membuat respon tak terencana bagi orang-orang yang menunggunya. Ibunya
menangis, ayahnya tersenyum sarat kejujuran, dan Bela, sahabat sekaligus
tetangganya, langsung menghabiskan Minggu paginya untuk mendengar suara yang
telah lama tenggelam bersama malam.
“Kamu
tahu apa yang selama ini aku pikirkan, Bel?” tanya Calla tiba-tiba, sesaat setelah
begitu hening karena Bela kehabisan bahan cerita.
“Mm,
kamu.. kecewa?” Bela mencoba menebak meski langsung mendapat penolakan dari
sorot kegelapan mata Calla. Tapi Calla tidak sepenuhnya membantah, mau tidak
mau ia pasti tampak mengaku. Matanya menolak tapi hatinya terabrasi bersama sisa
minggu yang terhabisi. Kecewa, sedih, menjadi prioritas orang-orang
untuk memandangnya, tetap, meski ia berusaha lebih tegar dari yang seharusnya.
“Kecewa?
Untuk? Aku tidak memiliki lebih kuat alasan untuk itu, meski bagaimanapun
kebohongan tidak pernah bertahan, kan? Tapi bukan,
bukan itu yang kumaksud,” ucap Calla tanpa melewatkan sepatah kata pun dari
seringainya. Tetap terkesan, pahit.
“Jadi?”
Bela tidak bermaksud mendesak, tapi ia hanya ingin sahabatnya itu memiliki
tempat di mana ia dimengerti, selagi Bela berusaha.
“Kamu
tahu dan aku yakin pasti tahu tentang leukemia. Apalagi yang minat bacanya bisa
dibilang over dosis sepertimu, aku
tidak bisa menduga jika ‘tidak’,” jawab Calla, memandang ke depan penuh
terawang, seperti udara merupakan zat pekat dan yang terbentang selain itu
mengebas. Masih tersenyum, tak menyisakan tenaga di dalamnya, tapi cukup
membuat Bela menabur makna bahwa kecewa tidak
seberat apa yang ingin disampaikannya.
“Novel,
cerpen, segalanya berbau fiksi, karya-karya menjelma melankolis dengan
mengusung penyakit ini sebagai konflik. Klasik. Begitu-begitu saja. Tokoh mati
karena leukemia tidak ada metode penyembuhannya dan menganggap waktu singkat
itu benar-benar nyata di depan mata. Padahal, apa bedanya aku dan kamu?” lanjut
Calla, sesekali mengerling ke arah Bela yang terduduk bisu di sisinya. “Apa
bedanya aku dan kamu? Aku sakit, kamu sehat? Itu saja? Setidak adil itukah
dunia dan kehidupannya?”
“Maksud
kamu apa sih, La? Aku mulai vertigo nih, hanya memahami omonganmu aja,” kata
Bela lagaknya bercanda. Tapi, Calla sedikit pun tak lekang dari raut datarnya.
“Aku
dan kamu, berada, bertahan, bernafas di ranjau waktu yang serupa, semasa.
Apakah cukup dengan penderitaan ini, aku dan kamu dibedakan.. oleh nasib?
Apakah sesederhana itu mereka memandang, bahwa nasib di bawah ambang takdir?
Lupakah mereka, bahwa nasib bisa kurangkum lagi?” jawab Calla, tidak bermaksud
mengubah pola kalimatnya terlalu gamblang namun beberapa detil topik seharusnya
bisa ditebak.
“Jadi,
apa masalahmu?” Bela bisa menerima. Ia mengerti bagaimana situasi Calla yang
berbanding terbalik dengan masa lalunya. Penuh canda tawa, ceria, dan riang
harus terbayar dengan menjadi salah satu dari kelompok mereka yang menyesali
hidup.
“Orang
tuaku tidak cukup mampu menanggung konflik batin mereka, teman-teman tidak bisa
berhenti menatapku dengan ratapan kasihan. Aku tahu segalanya telah berubah,
dan inilah yang membuatku takut kembali. Takut tidak siap menghadapi sekarang.”
“Kamu
tahu mengapa karang diciptakan? Mengapa ia terhampar di samudera? Dan mengapa
ia hancur?” tanya Bela tiba-tiba dan sama sekali terdengar seolah mengalihkan
pembicaraan. Calla mengikuti arus ini.
“Kamu
tahu?” Calla balas bertanya.
“Tentu.”
Bela menyeringai, tampak tegar di balik bulir air yang menggenang di tepi
kelopak matanya, seperti perisai kaca melingkupi bola mata beningnya. “Karang
diciptakan tidak semata-mata karena takdir. Ia ada karena apa yang seharusnya
ia abdikan di muka bumi.”
Calla
melihat permainan warna di mata Bela, seperti ngarai yang menyimpan nebula dan
pelangi. Terpaan cahaya membias tipis, seolah terlukis halus di matanya,
membuat Calla sesaat terkesiap namun seketika tersadar senja telah tiba,
mengusung warna-warnanya yang tak bisa bersama. Juga menampilkan pemandangan
sejuta kenangan oleh alam yang diubahnya, begitu damai.
“Karang
tercipta dalam warna-warnya yang bangkit dengan hidup bersama samudera. Ia
membiarkan keberadaannya melindungi ombak dalam keseimbangan. Membiarkan ombak
itu jatuh ke pangkuannya yang tak selalu siap menerima keangkuhan yang
berlebih-lebihan. Bahkan rela sesaat tenggelam dan menunggu ombak memberinya
kesempatan lain, meski tetap ada saat ia harus gagal. Membiarkan tubuhnya
memutih, seiring masa perjuangannya berkerumun dalam garam. Lapuk perlahan dan
hancur puas tanpa menyisakan serpihan yang tak terelakan,” lanjut Bela yang
kini menatap Calla lebih dalam, memaknai kata-kata dalam gambaran yang
diusahakannya tersirat dalam gurat bahasa. Hanya ingin membiarkan Calla
menerima jika ia tenggelam namun tetap muncul dan pergi tanpa pupus asa.
~***~
Calla
nyaris melupakan sakitnya yang mengkonversi hati dan pikirannya berbulan-bulan
sebelum ini—sebelum ia memilih berdiri sebagai anak normal dan memiliki harapan
dan mimpi, selalu yakin akan pemandangan senja esok hari dan hangat bumi masa
depan. Bahkan vonis usia bertahannya hingga dua belas tahun terpatahkan. Setiap
orang melihatnya, bangkit dari ranjang dan melompat dari anak tangga ke empat
paling bawah menuju dasar dan melesat ke dapur, membantu ibunya merias meja
makan dengan hidangan yang beraneka aroma, tak luput dari daya minat Calla.
Setiap orang melihatnya, menembus usia ke-15 tahun tanpa pengaruh pucat pasi di
wajahnya, aura usang tubuhnya sama sekali mati.
Pagi
itu, ia dan ayahnya berkunjung ke panti asuhan—ayah Calla bekerja di lembaga
sosial yang menyantuni anak yatim piatu—untuk menyampaikan dana bantuan hasil
penggalangan sejak empat bulan yang lalu. Ketika ayahnya memasuki sebuah ruang
tamu kecil di blok paling depan, entah mengapa Calla tidak berminat ikut masuk.
Mungkin karena pembicaraan yang dapat diperkirakan tidak mencapai pemahamannya
atau intuisi.
Ia
berkeliling di sekitar komplek panti asuhan hingga tiba di sebuah kebun sempit
di blok paling belakang. Bunga beraneka ragam dan harum yang menyeruak setiap
partikel udara menggubah suasana yang terlampau tenang, hingga angin pun seolah
efektif membuyarkan keheningan. Benar, intuisi. Begitu banyak bunga yang
dibiarkan merasakan keagungan alam, namun zantedeschia
seperti menemukan surga. Kicir air buatan menepi di sudut dan menyalurkan air
ke pengairan kecil-kecilan yang terus bercabang menyambut nafas bunga-bunga
yang tumbuh. Tak jauh dari semak belukar yang mengimbas aura liar, zantedeschia bangkit dari kerimbunan
tanah, dan seketika itu semak belukar kehilangan kepedihan. Lalu berjarak
beberapa meter dari hamparan zantedeschia
itu…
Seorang
anak laki-laki, mungkin kisaran usia sepuluh tahun, duduk berhadap-hadapan
dengan kanvas coreng-moreng tak karuhan—seperti abstrak, abstrak yang tak
teorisitis. Calla menghampirinya, mengambil kuas yang terkulai begitu saja di
atas palet yang mulai belepotan warna gelap saja. Calla menyampurkan beberapa warna
cerah tanpa berpaling untuk memastikan sepasang mata yang menatapnya, bingung.
Lalu ia hanya mengalihkan pandangan pada kanvas putih tertebarkan gelap pekat
itu dan menggores sedikit demi sedikit kuasnya membentuk torehan warna baru
yang cemerlang dan tampak sigap sambil berkata,
“Begini
cara melukisnya..”
Lalu
anak itu berhenti menatapnya dan pandangannya melayang pada warna yang seketika
menutup kekelaman yang terbesit beberapa saat tadi. Membuatnya sedetik melongo,
karena semudah itu Calla mengubah pemandangan menjadi stepa dan kebun-kebun zantedeschia padahal ia hampir
berjam-jam tak mengubah posisi, terus berkutat pada palet untuk melebur hitam.
“Hitam
kadang kelihatan tidak terkalahkan. Tapi di sini kamu menuangkan apa yang
sempat kamu pikirkan, bukan sesederhana mencampur warna untuk sebentang
lukisan. Tidak seperti matematika yang jelas memiliki kunci jawaban pasti dan
selalu telak, atau ilmu alam yang di mana saja kamu dapatkan jawaban. Tapi
seni, kamu mendapat jawaban hanya di hati,” kata Calla kemudian.
“Hitam
bukan lawan yang mudah dicarikan setimpalannya. Ia harus ditumbuk berulang kali
dengan inisiatif yang berganti-ganti namun dengan satu fokus yang konsisten,
sehingga warna yang kau tuju itu bangkit dan hitam itu akan tenggelam. Memang,
seolah semua warna di bawah kuasanya. Tapi,
tidak demikian,” lanjut Calla kemudian meneruskan melukis hingga lebih dari
separuh kanvas mulai terisi sketsa.
“Tapi
kamu harus punya strategi. Jika kamu tidak bisa mengalahkan hitam di medannya,
lemahkan dia dengan kekuatanmu yang lain. Kamu tahu? Di sini kamu akan paham,
jika kamu memiliki tekad lebih dari apa yang sebenarnya mungkin, kamu tidak
akan menyangka kekuatanmu yang sebenarnya.” Calla pun selesai membuat sketsa
lalu berdiri dan berniat beranjak, namun sebelumnya ia menepuk puncak bahu anak
itu dan berkata, “kalau kamu mencampurnya di palet bersama segerombol hitam
itu, mana bisa berubah warna? Bisa sih, tapi lama! Jadi kamu cuci dulu kuasnya
lalu tutup warna yang salah di atas kanvasnya, di palet bukan untuk menutup
warna, hanya untuk mencampur.”
Calla
melangkah dalam derap langkah setimbang, tanpa mengurai senyum yang bertambatan
di antara pipinya. Lalu tiba-tiba suara menyusulnya, riang di belakang,
membuatnya kontan menghentikan langkah dan berbalik.
“Kak,
besok datang dan melukis lagi ya!” kata anak laki-laki itu antusias, membiarkan
binar matanya membuktikan kata hati.
“Oke!”
Pesan-pesan
Calla dalam berbagai potongan—potongan waktu, situasi, dan keadaan—bak kerikil
yang menggumpal menjadi batu besar yang dari masa ke masa semakin kokoh. Tak
tertangguhkan masa lalu yang petang dalam keterpurukan. Tapi setiap senja punya
malam, dan ketika malam tiba, setiap orang mengenangkan yang terjadi kala
siang. Calla pergi bukan karena kesempatan bertahan melawan penyakitnya habis,
namun akibat kecelakaan sepulang dari panti asuhan yang menyebabkan mobilnya
oleng hebat dan ayahnya menanggung luka bakar. Tapi ia tak pernah percaya pada
akhir kesempatan. Setiap kesempatan memiliki ujung pada takdir, kecuali tanpa perlawanan
terhadap batas pertahanan. Paling tidak, ia tidak mengurung usia dalam vonis
kosong yang mereka anggap seolah kepastian dan membuktikan bahwa tak ada yang
salah dari takdir. Bahwa, leukemia tak pernah berniat membasminya atau siapa
pun yang pernah mati karenanya, tapi harapan patah dan mimpi yang tertidur adalah kematian yang menyusul mereka, bahkan sebelum mati—dengan esensi
nyata—dan bahagia dengan hidup yang tak bernyawa.
0 komentar:
Posting Komentar
Thank's.. Leave another comment :)