“Aku bukanlah orang
yang tidak tahu-menahu mengenai dirimu.
Aku tak perlu menemukan alasan, sehingga mengenalmu itu mudah.
Karena, aku cukup memberimu pembuktian, bahwa kau sendiri yakin
untuk berlari ke arahku ketika kau membutuhkan.
Aku memang tahu-menahu, namun bukan berarti aku pandai
menebakmu.
Aku bisa membaca bias matamu, tapi aku tak mengerti
mengapa ia di situ?
Malah memperindahmu, yang ternyata harus menjauh...”
Aku tak perlu menemukan alasan, sehingga mengenalmu itu mudah.
Karena, aku cukup memberimu pembuktian, bahwa kau sendiri yakin
untuk berlari ke arahku ketika kau membutuhkan.
Aku memang tahu-menahu, namun bukan berarti aku pandai
menebakmu.
Aku bisa membaca bias matamu, tapi aku tak mengerti
mengapa ia di situ?
Malah memperindahmu, yang ternyata harus menjauh...”
Beberapa bulan yang lalu.
Dini hari, Tsania
harus terjaga karena suara guntur yang menggetarkan jendela dan dinding
kamarnya. Juga, memekakan telinga. Hujan lebat sedang menembus keheningan malam
yang disukainya, membuat Tsania harus mati-matian mengembalikan waktu-waktu
tenangnya yang langka. Sambil berusaha memejamkan mata—berharap ia tak pernah
mendengar geletar atap yang melawan air—ponselnya berdering pendek, sia-sia
lagi.
‘Pasti kebangun?’
terangkai pertanyaan singkat di layar, begitu singkat—dan tak seberapa penting—sehingga
seharusnya Tsania tak perlu merepotkan diri menggubris pesan itu. Seharusnya. Jika saja bukan Wildan.
‘Dasar! Spying!’
jemari Nia mengetikkan sepasang kata, mengirim pesan itu, kemudian terhenti di
atas keypad ponselnya.
Pandangannya enggan beringsut meninggalkan layar, masih di sana bersama seukir
senyum di wajahnya.
Nia benar-benar telah menemukan cara menulikan telinga dari hentakan
air hujan yang menghujam seisi bumi.
‘Spying? Enak aja.
Kamu nggak jauh beda dari aku. Lupa?
Hahaha.’
~***~
Mengapa tidak aku beranjak untuk kesempatan atau kepastian lain yang sebenarnya sedari dulu mungkin saja menjadi milikku?
Tidak. Aku mungkin tidak lagi memiliki kesempatan atau tidak
lagi pantas mengharapkan yang-selama-ini-kuharapkan-darinya. Aku mungkin juga
sangat payah dalam hal memahaminya, aku selalu mengeluh apakah perempuan memang
se-moody itu sehingga
ketika nyaris aku mencapai arahnya, mereka berharap untuk berbalik arah.
Kuakui, aku tidak bisa—dengan baik—memahaminya. Namun, untuk itulah aku akan
tetap di sini, selalu berusaha
memahaminya.
Lalu hujan pagi ini, menghempas akalku jauh-jauh, membuatku
kembali menginginkan Nia memberiku jawaban. Air hujan melebur debu daratan—dan
juga debu kenangan—mengimbaskan kepulan uap meronta dari muka tanah. Segala
yang ringan telah menguap, sedangkan yang pekat masih mengendap. Dan, bayangan
Nia adalah kepudaran terjelas yang tersisa, di benakku.
~***~
“Wil! Curang kamu! Kok
nggak bilang kalau pagi ini ulangan harian matematika?” racau Nia seketika
mendapati wajahku melintasi pintu kelas, kedua alis tipisnya jelas nyaris
berhimpit dan itu cukup menggentarkanku.
“Aku juga baru tahu pagi ini, Tsania. Itu juga dari twitter,” bantahku sambil meletakkan
tas—agak menghempas—ke bangku di sebelah Nia yang masih berdiri ketus, masih
memindai kesalahan dari ujung rambut hingga ujung kakiku.
Aku tidak menggubrisnya jika masih ingin mengomel, langsung
kubuka sebuah buku catatan yang setiap lembar isinya begitu coreng-moreng oleh
tulisan tanganku yang ternyata memang tak terlalu nyaman dilihat—aku tak akan
pernah memaksa seseorang membacanya. Namun tampaknya itu membuatnya semakin
kesal.
“Nggak beri kabar
tentang ulangan, nggak belajar!”
ujarnya sambil merampas buku catatan dari hadapanku, membuka-bukanya sambil
berjalan pergi.
Aku hanya mendengus sambil perlahan menyandarkan punggungku
di sandaran bangku, mengamati Nia yang beberapa detik kemudian membalik badan
dan mempercepat langkah menghampiriku.
|
“Kamu berharap aku membaca catatan seperti apa? Kau tidak
mengizinkanku belajar, sejak awal tidak ada yang akan belajar,” jawabku sambil
menyeringai penuh kemenangan ke arahnya. “Aku harus merekap iuran baju panitia
segera.”
Nia memberengut lalu pancaran matanya berangsur-angsur
menjadi sayu. Ia duduk di bangku sebelahku lalu menelungkupkan kepalanya di
atas meja di balik lipatan kedua tangannya.
“Aduh, gimana ini?
Aku belum siap apapun untuk ulangan. Aku nggak
paham apapun,” keluhnya dalam suara parau khasnya ingin menangis, namun
kupikir itu karena nafasnya yang terkepung lengan-lengannya.
“Sudah kuduga karena itu,” sahutku tanpa mengalihkan
pandangan dari angka-angka nominal pada lembaran putih di hadapanku. “Sudah
kuduga. Aku tidak perlu menanyakan, mengapa kau terus saja melipat wajahmu
seperti itu.”
“Dasar kau!” ujarnya sambil meraih bukunya dari meja dan
memukulkannya perlahan ke pundakku.
Tiba-tiba gurauan kami terhenti melihat seorang anak yang
tampilannya begitu asing. Aku pikir, mungkin itu hanya Hani yang memang
menggemari aksesoris eksentrik dan hari ini adalah fase kronisnya. Namun
ternyata, wajah di balik kacamata hitam itu menunjukkan orang yang berbeda.
Meskipun eksentrik, namun masih cenderung lebih sederhana dari Hani. Mungkin
kesan itu terbawa oleh rambut hitam kecokelatan, gelang dan jam tangan yang dirantaikan di satu pergelangan tangan, dan
kaos kaki tinggi warna thistle membebat telapak kakinya—tampilan yang membuatku berpikir bahwa gadis itu
Hani.
Siapa dia? Kontan muncul pertanyaan terlebih
pada diriku sendiri.
“Sepertinya dia anak baru yang kabarnya menjadi teman sekelas
kita. Kalau nggak salah sih, namanya Adalia Lenata. Aku iri sama namanya,” terang Nia seolah
pertanyaanku tadi tanpa kusadari telah terlontar dari mulutku. Atau memang sudah?
Setelah gadis yang isunya bernama Adalia tadi berlalu,
keheningan mencekat seketika juga luntur, orang-orang telah kembali sadar akan
kegiatan yang sebelumnya mereka sedang lakukan. Berlebihan memang. Namun
begitulah reaksi setiap orang saat Adalia melintas tanpa sepatah teguran pun,
seolah koridor yang dilaluinya merupakan jalur eksklusif baginya sendiri.
“Wildan!” sahut seseorang dari pintu, kontan aku menoleh lalu
mendapati Fano berdiri di ambangnya. “Mas Raihan tanya tuh masalah rekapitulasi iuran.”
“Oh iya, di mana Mas Raihan?” tanyaku sambil menyelesaikan
sisa-sisa data yang juga harus direkap lalu segera membereskan segala bentuk
lembaran kuitansi yang tertumpuk di meja.
“Di Matematika 1, buruan
ke sana deh!”
“Oke, makasih ya
Fan!” sahutku sambil memperlebar langkah meninggalkan ruang kelas.
Aku merasakan ponsel di sakuku bergetar tiada jeda, namun aku
tidak bisa menunda langkah untuk mengecek kepentingan macam apa yang sedang
merecoki ponselku. Toh, kemungkinan besar hanya Mas Raihan yang kukuh
menghubungiku pagi begini.
Aduh.
“Eh maaf, aku nggak sengaja. Maaf ya,” ujar seseorang
di sebelahku, tiba-tiba tangannya terulur memunguti kuitansi yang berceceran.
Adalia.
“Maaf banget. Maaf
kalau kamu juga sedang buru-buru, jadi harus ngulur-ulur waktu,” gadis itu tidak berhenti mengucapkan maaf, lagi-lagi
seolah berpikir hanya ada dia di tempat itu. Sehingga hanya dia juga yang bisa
disalahkan.
“Sudahlah. Aku nggak masalah,
kok. Terima kasih udah merapikan selebaran kuitansi yang
kecil-kecil ini. Kamu Adalia, kan?
Salam kenal. Duluan, ya!” ujarku berusaha membuatnya tidak lagi
mempermasalahkan kejadian ceroboh tadi. Tidak juga dengan menyalahkan diriku,
karena meski mungkin ada benarnya, namun sepertinya gadis itu sulit menemukan
sisi lain daripada miliknya sendiri. Bisa-bisa dia semakin menyalahkan dirinya.
Ah, terserahlah. Yang
terpenting sekarang, mengantarkan setumpuk ‘makan malam’ ini pada Mas Raihan.
“Sudah selesai semua kan,
Wil?” tanya Mas Raihan telak di ambang pintu ruang kelasnya, seperti sudah
terprogram apabila menemuiku bersama buku gelatik bertumpukkan
lembaran-lembaran lain yang lebih kecil.
“Sudah, Mas,” jawabku yakin, bukankah itu jawaban yang telah
lama Mas Raihan—dan aku sendiri—ingin dengar? Aku pun selalu berharap bisa
segera mengatakannya.
~***~
Nia sakit. Ternyata, ketika pagi itu ia terus menerus
menelungkupkan kepala dalam hening, ia bahkan lebih dari sekedar pening
memikirkan ulangan matematika yang begitu dibencinya. Sekembalinya dari menemui
Mas Raihan, bangku di sebelahku telah terisi orang yang berbeda lalu mendengar
bahwa asma Nia kambuh membuatku merasa bodoh. Bagaimana bisa aku mudah saja
menebak dirinya yang selama ini selalu gagal kutebak? Mungkin aku yang selalu
gagal, atau Nia yang bersikeras menyimpan segalanya
dengan rapi. Begitu juga dengan betapa tak terduga dirinya yang berjuang
menghela nafas, bahkan mungkin sejak dia tidak membantah apapun saat aku
menduga dirinya sedang panik akibat ulangan harian. Kegagalan yang ke berapa kalinya ini?
Lalu di bangku yang ditinggalkan itu, duduk Adalia yang
tampak terkejut melihatku memasuki ruang kelas lalu meringsut ke bangku di
sebelahnya. Seandainya ekspresi Nia juga semudah ini diperkirakan.
“Hai, kita ketemu lagi dan nggak menyangka ternyata kita satu kelas,”gadis itu tak segan
mengulurkan tangan lazimnya seorang yang memperkenalkan diri. Namun sebenarnya
aku menolak kata ‘nggak menyangka’,
sebab aku sudah mengetahui ini sebelumnya, dari Nia.
“Aku Wildan,” sahutku sambil meraih uluran tangannya,
formalitas.
“Adalia Lenata. Panggil saja, Lena,” ujarnya sambil tersenyum
simpul, kemudian berpaling pada novel dalam genggamannya.
Aku baru menyadari maksud senyum Lena yang terkesan bukan
sekedar beramah-tamah. Sejak awal bertemu gadis itu, aku terus-menerus
memanggilnya ‘Adalia’ dan baru saja ia membenarkan nama panggilannya menjadi
‘Lena’. Kebanyakan orang memang merasa lucu ketika orang lain memilih nama
panggilan yang bisa dibilang tanggung ketika diucapkan.
Siang ini akan ada pertandingan futsal, namun aku terpaksa
izin karena keharusan bagiku sendiri untuk menjenguk Nia tidak bisa berhenti
berdengung di benakku. Awalnya tiada masalah meskipun harus bertanding tanpa
cadangan. Tetapi, tiba-tiba Rendi menghambur ke tengah-tengah tim kelasnya yang
sedang melakukan pemanasan sebelum pertandingan dua menit lagi.
“Ren, buruan pemanasan!
Kamu itu ngapain?” suruh Fariz yang
terkesiap mendapati Rendi bahkan belum mengenakan kaos tim, matanya tajam
menyala seharusnya tidak membebaskan Rendi dari perintahnya.
“Riz, aku nggak bisa
ikut bertanding!” kata Rendi kontan membuat seluruh anggota tim yang sedang
pemanasan menoleh ke arahnya, diam. Mereka tahu, Rendi akan memberi penjelasan
meski dua menit bukanlah durasi yang pantas dibuang-buang untuk sekedar tahu
mengapa salah satu pemainnya ini tiba-tiba berubah pikiran. “A-aku. Aku harus
menjemput orang tuaku dari bandara, mereka pulang lebih cepat dan baru saja
menghubungiku.”
“Kita nggak punya
cadangan, woy! Kamu nggak tanding, berarti semua nggak bisa tanding! Kamu ngerti nggak, sih?” Indra telak tak
mampu menguasai emosinya, ini hal yang sudah biasa.
“Kalau kamu bisa membicarakannya dengan Wildan, kamu bisa
pergi. Satu menit,” ujar Fariz tenang, meski ia tidak sepenuhnya menganggap
semua akan baik. Seperti setiap orang yang lain, masing-masing selalu tidak
terduga. Paling tidak, ia tak pernah ingin sulutan api ini terbakar, seolah
memang tugasnya.
Aku baru saja hendak melajukan motorku bebas ke jalanan
ketika tiba-tiba suara derap kaki diiringi sahutan seseorang dari kejauhan
semakin terdengar jelas.
“Wildan!! Tunggu, Wil!” teriak orang itu dan ketika kubuka
penutup helm di depan wajahku, baru kusadari Rendi terengah-engah menghampiriku
dari gerbang dalam.
“Ada apa, Ren? Bukannya sebentar lagi pertandingan mulai, kok kamu justru ke sini?” tanyaku dengan
pikiran yang terpilah-pilah—bagaimana keadaan Nia? Bagaimana pertandingannya?—,sangat
memusingkan.
“Aku harus pergi secepatnya, Wil. Tolong, kamu harus main di
pertandingan gantiin aku! Satu menit
lagi, Wil. Udah nggak ada waktu,”
terangnya sehingga sekesiap aku menghambur ke lapangan tempat pertandingan
berlangsung. Menyambar sisa kaos tim yang tergantung di ruang ganti,
mengenakannya, dan segera menempati formasi kosong di lapangan. Nia, maaf aku belum bisa menjenguk siang
ini.
~***~
Aku merasa ingin meminta maaf kepada semua orang, harus. Sepertinya Nia salah paham atas
beberapa hal, namun aku tidak menemukan kesempatan untuk meluruskan setiap
kekusutan ini. Seandainya aku bisa membuat kesempatan, sebelum kesempatan yang
kupilih adalah kesalahan. Maka, anggap saja aku tak punya pilihan! Kalaupun
ada, itulah satu-satunya yang tak berhak kuambil. Terlalu banyak yang selama
ini menjadi sia-sia.
Namun Rendi diam-diam menipuku, semua orang, dan dirinya
sendiri. Ia mendustakan perasaan sukanya pada Nia, lalu meninggalkan
pertandingan futsal dan pergi menemui Nia. Entah sejak kapan mereka ternyata
cukup dekat hingga Rendi berani menyatakan suka pada Nia yang tidak menjawab tidak. Namun, aku berharap ia tak akan
pernah mengatakan iya. Mungkin
terlalu banyak hal yang tidak kuketahui—atau hal yang aku lebih suka untuk
tidak mengetahuinya. Tetapi apakah tidak ada segelintir pun sesuatu yang bisa
diandalkan? Yang tersisa, aku hanya tahu,
aku masih tidak mampu menebakmu.
Sepertinya bulan ini akan menjadi bulan bercurah hujan
terberat dalam setahun. Sangat terlambat, mengingat kini telah menjejaki Maret
yang rutinitasnya mulai membagi-bagi kehangatan sinar matahari. Atau mungkin
kebetulan sore ini saja? Hujan hanya bermaksud menyambut isi hatiku, begitukah?
Namun aku tak akan bisa sekedar mencapai pagar sekolah tanpa terguyur
habis-habisan, jika hujan bersikeras mengepung setiap sudut daratan.
“Mengapa kau masih diam di sini?” tanya Lena yang
entah-sejak-kapan ia mulai duduk di sebelahku.
“Kamu pikir dengan hujan seperti ini, masih mungkin?” jawabku
ketus tanpa memalingkan pandangan padanya.
“Bukan. Mengapa kau masih diam di sini? Kau masih terus
begitu, padahal situasinya akan terus berubah. Kau mengandalkan keberuntungan
segalanya akan membaik, atau pasrah karena kau tahu semua akan semakin buruk?”
Kali ini dia berhasil mengalihkan pandanganku, tatapanku
jatuh tepat ke kedua mata yang menerawang jauh seolah ia tak harus menyalahkan
hujan deras yang mengaburkan segala hal dalam pandangan.
“Kau tahu Rendi menunggu Nia, kau tahu dia tidak terlihat
seperti orang yang menyerah begitu saja. Kau tahu Nia sebenarnya menyukaimu,
dan kau tahu mengapa ia menjauh. Kau tahu banyak hal yang tak kau akui ada
dalam dirimu. Mengapa kau berhenti?” lanjutnya seakan ia mahir menerjemahkan
keheninganku, aku tak mengerti yang ia ucapkan. Maksudku, mengapa ia mengatakan ini?
“Apa maksudmu? Jangan berperilaku seperti kau mengetahui
apapun!”
“Aku tidak mengetahui apapun. Namun melihat dirimu sekarang,
paling tidak aku tahu lebih banyak daripada dirimu sendiri!” jawabnya seketika
kedua matanya menantangku, segala kekosongan yang baru saja tampak mengapung dalam
pandangannya hanyut.
“Kau menyukai Nia, lalu katakanlah! Kau tidak bisa
terus-menerus membiarkan dunia bergerak sendiri. Hidup ini bisa saja membawa
Nia ke sudut bumi yang tak akan kau temui. Buatlah keputusan!” lanjutnya, bola
matanya terlihat lebih jernih namun bergetar. Lena menangis.
“Apa yang membuatmu merasa kau mampu mengatur perasaanku?”
tanyaku datar tetapi aku tak ingin pembicaraan ini begitu saja berakhir. Tak
perlu diragukan, Lena tahu tentang Nia. Ia tahu yang perlu kuketahui.
Ia tersenyum getir ke arahku lalu menyapukan pandangan ke
tanah, rapi di antara tundukan dalamnya.
“Mengapa aku harus mengatur perasaanmu, jika perasaan itu
telah ada di hatimu? Lagi pula, kau pikir siapa yang bisa mengatur perasaanmu,
bahkan kau sendiri tak akan mungkin?”
Ia mendenguskan sehela nafas sambil melembutkan nada
suaranya. Tak seperti yang sudah terjadi, kali ini Lena mengisyaratkan segala
ekspresi menjadi kesatuan yang menjawab sebuah makna. Pedih. Entah apakah itu mengenai dirinya atau dia mencoba
mengartikan situasi rumit ini sebagaimana ini
terlihat, dan terasa.
“Ketika seseorang telah menyukai orang lain, maka ‘memilih’
hanyalah kesan yang kenyataannya tak pernah sempat dilakukan bahkan sebelum
perasaan itu datang,” lanjutnya kemudian beranjak pergi, melangkahkan kakinya
menembus rimba hujan.
Sesaat aku berdiri dan mencoba meraih pergelangan tangannya,
tetapi..
“Aku baik-baik saja. Kau yang harus mulai memikirkan
keadaanmu,” ucapnya sebelum aku sempat melarangnya nekad melawan derasnya
hujan. Entah kebekuan macam apa yang memasung tubuhku bergeming, namun yang
pasti kesan itu muncul seketika Lena menolak uluran tanganku. Pertolonganku.
Beberapa saat yang lalu, ia membuktikan bahwa ia bisa melihat sisi lain di luar
dirinya. Namun beberapa saat yang lalu juga, ia kembali menjadi dirinya yang
melangkah sendiri.
~***~
Hari itu, aku memberanikan diri menemui Nia dan sungguh di
luar dugaanku, dia menimpali setiap obrolan yang kulontarkan begitu saja seolah
tak pernah ada cukup alasan untuk berubah. Tak pernah ada yang terjadi. Apakah
ini bagian dari yang-tak-bisa-kutebak? Atau, melupakan yang selama ini terjadi
memang mudah?
“Aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa, ketika
seseorang telah menyukai orang lain, maka ‘memilih’ hanyalah kesan yang kenyataannya
tak pernah sempat dilakukan bahkan sebelum perasaan itu datang—“ kataku sambil
mengawasi ekspresi Nia dari ceruk mataku, namun dia terlalu tenang untuk
memiliki ‘ekspresi’. Jangan lagi!
“—Dan, seharusnya aku tak merasakan ini jika aku tahu tidak
ada pilihan. Namun, aku benci bahwa kenyataannya kau tidak bersamaku.”
“Tunggu. Maksudmu?” tanyanya, masih dalam ketenangan yang
menggelayut di setiap sudut wajahnya.
“Aku tidak bisa memilih yang akan kusukai, demikian juga kau.
Kita tidak bisa meminta apalagi membuang perasaan yang kita sendiri tak
mengerti bagaimana bisa, mengapa, atau dari mana semua itu. Lalu, ketika aku
tahu kau tidak bersamaku—“
“Aku tidak bersamamu?” kilahnya sambil menelengkan kepala,
tampak jelas ia mengecam kalimat itu. “Aku tak mengerti persahabatan kita
selama ini kau artikan sebagai hal seperti apa. Yang aku tahu, sepertinya aku
hidup di dunia yang salah.”
“Ya, hidup dalam dunia yang tersaput ketakutanmu. Selagi aku
tetap di sini, bisa jadi aku tidak terlihat lagi,” lanjutnya.
“Aku hanya ingin menyadari kenyataan—“
“—Tapi kau belum bisa juga?” selanya. “Kau hanya perlu
melihat kebenarannya. Sebagian besar kenyataan ada bersamanya. Bukankah begitu
pun cukup?”
“Jika aku tak pernah melihat kebenarannya? Semua terlalu
tersimpan rapi.”
“Kau selalu melihatnya, tapi kau tak berani sedikit pun
menebak. Kau takut kan, jika mereka
tidak sesuai harapan?” jawabnya sambil melemparkan tatapan dingin padaku.
Kontan aku tak berani menatap kedua mata Nia yang tiba-tiba
gelap dan beku. Bisakah sebuah palung terkubur di sana sekali waktu? Hingga
untuk pertama kalinya, aku merasa sangat ingin melarikan diri, menghindari
kedua mata gadis yang kukagumi.
“Aku tak menginginkan ini. Aku tidak menyukai Rendi, tapi aku
tak menginginkan persahabatan di antara kami runtuh karena pernyataan
sederhana. Begitu juga yang kuharapkan darimu,” terang Nia dengan suara yang
terdengar sedikit parau.
“Mengapa kau mengharapkan itu? Jadi sebenarnya bagaimana
dengan dirimu sendiri?” Aku meraih bahunya, mengapa
ia di situ? Bias-bias tegar berpendar dari matanya. Malah memperindah
dirinya.
“Aku juga tidak mengerti apapun tentang diriku sendiri!”
“Baiklah, aku mengerti. Maksudku, aku mencoba mengerti.
Apakah ini pernyataan sederhana yang kau maksud?” Aku melepas cengkeramanku
dari bahunya, ini bukan kesan yang kuciptakan. Bukan ujung yang kutuju. Aku tahu
berat, mengapa menolak kebenaran?
“Bukan. Kau tidak paham!”
“Ya, aku memang tidak bisa memahamimu! Itulah yang membuatku
masih di sini, untuk selalu berusaha memahamimu.”
~***~
Kini aku telah bersekolah di SMA yang lain, bahkan tidak lagi
hidup di kota yang sama dengan di mana Nia tinggal. Aku dan keluargaku harus
menerima kepindahan ini atas sebab yang telak memenangkan nyaris segala alasan. Aku tidak peduli cahaya baru apapun yang
ditawarkan, bayangan yang mereka bentuk tidak akan cukup menimpa bayangan Nia, kepudaran terjelas yang tersisa. Aku
masih punya waktu. Aku masih bisa menunggu.
0 komentar:
Posting Komentar
Thank's.. Leave another comment :)