Kemudian
lorong-lorong itu seolah membentang leluasa, melipat tumpukan hening di
antaranya. Hanya derap sepasang kaki—entah milik siapa—mengisi sela
lipatan lainnya. Langkah kaki itu tak sepenuhnya meregang keheningan pekat di
lorong-lorong itu. Dengan langkah yang terdengar lemah—mungkin diangkatnya
kaki-kaki itu dengan gontai—lelah, penuh keluh yang tak terpapar seperti itu, tidak mungkin.
Mungkin hanya
lorong itu yang tahu. Seandainya ia tidak bisu, mungkin ia satu-satunya yang
akan menanyakan sesuatu. Jika saja ia bukan bata dan kayu, mungkin hatinya yang
pertama luluh. Namun dia tetap hanya lorong, yang ia tahu, langkah itu tidaklah
sia-sia dan kelelahan itu selalu nyaman menyusuri lantai dingin yang hampa
dalam dekapnya.
Mereka tak
cukup banyak mengetahui, bagaimana manusia yang melintasi lorong itu adalah
manusia yang siap dibantai. Jika berani bertaruh, bahkan mungkin hingga tulang
persendiannya! Lorong itu tak akan muncul di mana pun lalu memaksa manusia yang
melaluinya menantang ajal. Atau memanggil-manggil penuh hasrat, lalu
mendatangkan mereka dalam tipu daya. Tidak!
Lorong itu cukup mulia untuk membiarkan mereka memilih dan pergi menjemput
miliknya: kesuksesan atau kehancuran.
Namun lorong
itu kadang menangis, menjadikan kegelapannya seperti tak mungkin luntur, ketika
manusia menolak diuji. Memilih membaca batu berlumut atau arah angin. Tak
sepenuhnya seprimitif itu, namun itulah kemungkinan terburuknya.
Langkah-langkah
itu hanyalah langkah, yang bergerak menembus hitam bayangan yang terkepung
dalam kegelapan menyesakkan. Langkah-langkah itu hanya perlu melangkah, tanpa
sempat mendengar gelegak tawa di balik lorong, mungkin malah tidak juga
mendengar langkah lain di satu lorong. Mereka hanya ingin memastikan gerak
mereka tepat. Menemukan pintu bukan lubang terjal. Menemukan cahaya bukan tipu
daya.
~catatan untuk teman-teman seperjuangan yang sangat luar biasa di sana~
0 komentar:
Posting Komentar
Thank's.. Leave another comment :)