Rabu, 20 Juli 2011

MENANTANG MATAHARI



Breaking every word in this world
with any ways which always try
to break us too
with any languages..
Selasak mata melayangkan pandangan menantang pada surya. Tak ada yang mengatakan itu adalah hal mudah. Bila mudah melayangkan pandangan pada bara arka, semudahnya kilat api itu membenamkan buta di ceruk retina. Sama saja mengancam resiko, mengobarkan perang pada nurani. Lalu sekerjapan mata, bumi tenggelam ditelan hitam. Indera bumi bergerak-gerak dalam sinyal katulistiwa di bawah kulit, dan mengerjap. Membuatku merasakan gejolak bumi yang sesungguhnya ketika…aku fokus! Membiarkan langkahku terperanjak ke setiap tempat buram, dan tubuhku terasa didera, diterpa, dipasak angin yang membuatku menyadari mala di sisiku. Dan kakiku memang sudah menggantung.. Menggantung pada udara. Seolah tebing ada di sekelilingku, bertebaran hingga hembusan nafas pun terdengar menggema. Atau mungkin ini bukan tamsil, bukan penglihatan mula dariku saja, bukan dugaan, bukan ‘seolah’.. Mungkin! Aku memang sudah jatuh dalam palung darat.. Sedang hanya menikmati ketidakpastian di antara titik yang menjatuhkanku dan menerimaku. Hanya berharap, titik akhir jurang ini—kepastian—berada mengujungi ambangku. Namun, sayangnya.. mengharapkan kepastian dari apa yang tak bisa terbayang bahkan sulit diterima. Logika dari apa yang tak logis bahkan tak jauh tidak mudahnya dengan menantang sang surya.
Ferena menghambur dari ruang kelasnya, menangis di balik pintu gerbang besi tempa merah bata yang menjulang menutup dari tanah sampai langit-langit gedung. Namun pintu itu menganga, sedikit menjepitnya ke dinding dan mendekatkannya ke sebuah pintu ruangan. Bukan hal biasa, pintu itu tertutup palang baja. Biasanya ruangan ini paling hiruk, suara menggaung dan menggeletar di tanah sekitar ruangan itu. Namun sekarang yang tersisa hanya imaji salung bisu.
Keadaan begitu cepat berubah, secepat ia berlalu. Ferena bukan menangisi keadaan yang memang sudah bisa dipastikan, cepat atau lambat pasti akan ada yang berbeda. Ia tidak menangisi hilangnya keceriaan di udaranya. Tidak menangisi kesunyian yang membekap ruangan di belakangnya. Tidak menangisi apapun, kecuali dirinya. Berpikir dalam daur angan yang tidak berujung, namun yang lebih memusingkan adalah keadaan yang terbawa arus sedang dirinya terdampar.
Kemudian suatu pagi, Ferena menulis di buku kecil ungunya serambi memandangi melati-melati yang tumbuh alamiah di antara rumput-rumput di tepi dinding rumahnya, melati yang seolah menangis dalam balutan embun bening di ujung mahkotanya. Sesaat tatapannya jatuh pada alamanda yang membebat pagar rumahnya. Tidak mati tapi tidak tegar. Dinginnya pagi mungkin belum familiar baginya. Ini hanya masalah waktu.. Tapi mungkinkah alamanda itu masih mau memikirkan waktu saat hidup tak pernah mementingkan waktu? Hidup adalah.. kebutuhan dan harapan. Terlalu dilekangkan waktu membuat hidup menjadi mimpi. Ya, alamanda itu pasti segera mati jika bernafas di musim seperti ini. Lalu apa mungkin memaksanya tetap di sana dan.. menunggu??
Saat aku menyadari kerapuhanku dalam bilik langit dan jantung surgawi, aku merindukan dunia yang sesak dan pedih. Ketika aku memejamkan mata dan melihat suka dan tawa, aku mengimpikan tangis bersama sahabat di bawah naungan angkasa. Lalu aku berjalan menyusuri sungai ribuan minuman atau gunung ribuan perkebunan, aku menginginkan derita yang larut dan berdifusi di antara udara kebersamaan. Lalu aku merasakan harmoni sunyi dan damai di antara hembusan angin yang bungkam serta gemercik air yang senyap dan salju-salju yang lembut, namun aku justru mendambakan kebencian atas apa yang sepantasnya dibenci serta syukur atas kebencian orang-orang yang seharusnya dibenci terhadapku. Dan aku sekarang semestinya bahagia dan tersenyum, namun aku justru larut dalam kepedihan tak terjamah, hasrat bimbang tanpa terjemah, dan senyum dangkal memortal air mata menatap mereka yang lemah.
Ia tak tahu bagaimana bisa, bagaimana cara, bagaimana dia.. dan bagaimana segalanya kembali! Yang ia tahu, ia harus mengakhiri ini meski telapak tangannya bukan kuasa atas nafas-nafas di sekelilingnya, bukan kendali kefanaan yang tak pernah mudah diduga bahkan kadang tak terduga. Adakah yang logis sekarang ini? Saat logis benar-benar relatif dan justru logika menjadi kekang atas sekat di kerongkongannya. Masih dapatkah mengambil langkah logis atas puing-puing yang jatuh tanpa sebab rasional? Atau mengharapkan logika menemukan celah atas apa yang menerpa tanpa kejernihan yang …logis?? Dan apa yang ia pandang dengan logika, adalah buram bagi logika mereka yang menyidangnya dengan kata-kata logis bahasa mereka.
Lalu ia berkata dalam hati, “Membenci apa yang tak pantas dibenci dari apa yang gelap di balik bayanganku sendiri seketika aku mundur dari cermin, bahkan tak bisa dianggap bijaksana sedikit pun.”
Lantas dirinya sendiri menjawab, “Dan adakah yang mereka anggap bijaksana mampu menjadi bijaksana bagiku? Saat apa yang bijaksana atas mereka tak pernah dan tak mungkin tercatat dalam traktat hidupku? Bahkan apa yang bijaksana bagi mereka adalah jurang di benakku.”
Dan hati lainnya berkata, “Lalu aku harus membiarkan pola itu melingkupiku, dengan realisasi ini hanya masalah waktu?? Begitu?? Dan semudah itu menunggu sekali pun mereka menawarkan sisa waktu?”
“Setidaknya tidak selamanya. Belum. Belum sampai aku mati.”
“Dan selamanya akan punya waktu lain saat hidupku terlalu hambar terhadap kehidupan. Saat estetika hidup bahkan tak mengerti maksud mati, tak jauh berbeda.”
“Atau hidup mereka untuk menghakimiku? Bahkan yang tak terlahir meronta dilahirkan.. dan yang tiada memekik dikembalikan?? Sehingga mereka tidak menerimaku menghilang, dan bahagia selama aku terus merasakan ini. Belum sampai titik darah penghabisan-kah? Atau tidak akan ada esensi titik darah penghabisan???”
Lalu Ferena limbung didera air matanya dan tangisan sepi yang diiringi pekikan hati dalam gerbong jiwa yang terlalu bungkam untuk membuka diri. Atau bahkan tak mungkin lagi membuka diri. Semungkinnya itu, tak sampai mungkin merubah apa yang terlanjur diukir. Ya, diukir atau dilebur.
_rqueeneland
 
© Copyright 2035 Scarlet Threads Me
Theme by Yusuf Fikri