Senin, 21 November 2011

PENTING!!! UNTUK GENERASI BANGSA !!


"Kalian peduli korban AIDS?
"Bantu mereka dengan membeli kaos ini.. Hasil penjualan akan disalurkan untuk menolong para korban AIDS di Indonesia!
Demi Generasi Muda Bangsa!" :)

-Tersedia dua warna (hitam dan putih)

-Harga :
Lengan pendek : Rp47.000
Lengan panjang (muslimah) : Rp52.000
Lengan panjang dengan tambahan 10 cm bagian bawah : Rp58.000


-Ukuran produk : M, L, XL, XXL
Cp : Adin/Raisadinda (08156874203)--untuk info lebih lanjut


atau hubungi langsung di sekolah (khusus input SMP 1 Bantul)


Terima kasih :)


Contoh Desain Kaos


Sabtu, 29 Oktober 2011

~***~
Gone, my immortal has been gone :')




Aku tahu kau telah pergi..
Namun aku tak tahu akan secepat ini..
Setelah setiap kenangan macam apa yang kita lalui..
Setelah derai hujan yang kita arungi..
Dan kau benar-benar telah pergi,
membiarkanku mengenang hujan ini sendiri..
Meninggalkanku dalam malam purnama perak kita,
yang dulu selalu dirimu yang mengingatkanku..
Kini kalender itu sepi..
Hanya aku sendiri, sejak kau
pergi :')


Kau tak ingin aku menangis,
tapi hanya sekali saja, izinkan aku menangis..
Kau berharap aku kembali,
menjalani hari-hari hingga senja nanti..
Aku bisa bersandiwara namun tak selamanya..
Aku hidup, dan punya rasa..
Selewatnya senja,

izinkan aku menangis..
Mengingat malam-malam di antara cahaya perak kita..
Hanya aku sendiri, sejak kau
pergi :')

Kau ingin kubuat ini mudah,
setelah kehilangan satu-satunya yang begitu kupercaya?
Kau ingin kubuat ini wajar,
di kala semburat senja tak lagi ikal dan sepanjang hari seterusnya sejajar?
WHAT HAPPEN
in this PICTURE??!!!


Hanya dua bolpoin biasa yang nggak sengaja ketata kayak gituuu..
Terus nyoba ngefoto dua bolpoin 'model dadakan' itu deehhh..
Thanks to:
 Oza -- yang punya tu bolpoin kuning
Adin -- yang punya bolpoin biru
Sekolahan -- yang punya background (meja)

Pokoknya makasihh buat inspirasinya.. T.T huhuuhu #alayy
Dan potret sederhana itu gue sihir jadi sedemikian rupa,
sambil ngebayangin masa-masa gue 'in JUNIOR HIGH SCHOOL'
fhuailllaaaaa..........!!
jadi dehh, gambar editan amburadul gue ala apresiasi abiotik 'yang pertama'!!
Ayeeeeeeee..,


Cepretan pertama--sebelum metamorfosis :))




Hasil ilmu sihir gue :DD

VANILLA TWILIGHT LYRIC - OWL CITY

The stars lean down to kiss you,
And I lie awake I miss you,
Pour me a heavy dose of atmosphere.
Cause I'll doze off safe and soundly,
But I'll miss your arms around me
I'll send a postcard to you dear,
Cause I wish you were here.

I'll watch the night turn light blue,
But it's not the same without you,
Because it takes two to whisper quietly,
The silence isn't so bad,
Till I look at my hands and feel sad,
Cause the spaces between my fingers
Are right where yours fit perfectly.

I'll find repose in new ways,
Though I haven't slept in two days,
Cause cold nostalgia chills me to the bone.
But drenched in Vanilla twilight,
I'll sit on the front porch all night,
Waist deep in thought because when I think of you.
I don't feel so alone.
I don't feel so alone.
I don't feel so alone.

As many times as I blink I'll think of you... tonight.
I'll think of you tonight.

When violet eyes get brighter,
And heavy wings grow lighter,
I'll taste the sky and feel alive again.
And I'll forget the world that I knew,
But I swear I won't forget you,
Oh if my voice could reach back through the past,
I'd whisper in your ear,
Oh darling I wish you were here.

MY IMMORTAL LYRIC - Evanescence

I'm so tired of being here
Suppressed by all my childish fears
And if you have to leave
I wish that you would just leave
Your presence still lingers here
And it won't leave me alone

These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time cannot erase

[Chorus:]
When you cried I'd wipe away all of your tears
When you'd scream I'd fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have
All of me

You used to captivate me
By your resonating light
Now I'm bound by the life you left behind
Your face it haunts
My once pleasant dreams
Your voice it chased away
All the sanity in me

These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time cannot erase

[Chorus]

I've tried so hard to tell myself that you're gone
But though you're still with me
I've been alone all along

[Chorus] 
~***~
ZANTEDESCHIA
Karya
Raisadinda Pramesti
~***~

"Calla lily (zantedeschia)--bunga lili putih"

Sejak diagnosis penyakit menjangkiti tubuh mungil Calla, dua bulan yang begitu singkat dan terasa tak pernah cukup untuk membuatnya siap. Sekali pun waktunya yang tak lebih dari sekali debur ombak dihabiskannya untuk mengasing dari segalanya yang bernyawa, apa yang beruntung di dunia, mereka yang punya mimpi dan harapan—tentu saja masa depan, mungkin tetap tak ada kesempatan melupakan tawaran hidup. Bernafas dengan sisa-sisa keberanian untuk bertahan. Tapi, bertahan macam apa yang mungkin disanggupinya? Tidak benar-benar bisa disebut bertahan, hanya.. merasakan waktu, yang jelas membuatnya semakin merutuki masa lalu. Kebisuannya tak bisa disalahkan. Telak. Bukan berarti orang-orang begitu saja maklum, karena jelas perkara ini memutar balikkan fakta. Mungkin saja, menyendiri bukan satu-satunya solusi yang bisa ditimbang, atau datang serta merta menutup kemungkinan lain yang memang tidak mengubah keadaan, setidaknya tidak ada potensi lebih buruk. Jelas lebih tidak mungkin jika cara ini menjadi pilihan pertama Calla di balik selaksa imajinasinya yang tak ubahnya warna tumpah dalam semburat senja. Bukan caranya. Ternyata, beban batin ini jauh lebih tidak dapat diduga bahkan tak memiliki bayangan. Terdesak lumbung udara yang gelap tapi membentuk warna-warna, maya. Ya, warna-warna—hitam mengabu-abu—yang bahkan tak terlalu bertahan dalam penjara yang dibuatnya sendiri, tak berhasil bangkit dalam dunia yang mengadakannya. Dan bukankah dia ada, tapi mengartikan makna tanpa terjemah? Tak terjangkau.
Lagi, suara parau terisak yang tak pernah menjadi bagian keputusan Calla—secara sengaja—terdengar bertahan dalam gelombangnya. Seperti karang yang ditakdirkan untuk ombak. Dan suara itu, mengucapkan lantunan kalimat yang begitu klasik. Dengan generasi waktu yang berbeda, situasi yang seharusnya sudah lama terbaca dan jelas segalanya telah berubah, lantunan kata itu tak bermaksud terganti. Itu masih sama—dialognya, nadanya, intonasinya—yang membuat Calla tertegun setiap merasakan batas dengan suara itu, meski hanya hamparan kayu membilah pintu. Ia takut, masih ada yang bisa ia rindukan saat ia harus pergi nanti.
Mengapa kalian seperti itu? Mengapa kalian harus seperti itu? Bukankah banyak prioritas yang kalian miliki? Tapi mengapa harus begini?
Bukannya tidak mungkin kembali dan menikmati yang berhak menjadi miliknya meski sesaat, namun konsekuensi berikutnya yang bisa jadi tidak mungkin sanggup ditanggungnya. Sejauh ini, hanya segelintir hal yang berlalu sewajarnya. Calla menangis, bukan untuk penyakit ini—toh, air mata bukan sejenis obat—tapi untuk setiap bulir warna terumbu yang melukis dasar samudera, kebahagiaan. Normal, karena ia bisa merasakan apa yang semestinya dirasakannya. Menangis.
Calla melangkah ke sudut balkon dan mengenang, sesekali tatapannya jatuh pada hamparan kanvas yang bercoreng cat, menggubah kisah bentangan padang lili putih—zantedeschia—waktu senja. Dan, apapun impian yang terpaut bersamanya, tak sepenuhnya berarti saat senja semakin jelas berpisah. Ketika kedamaian langit guncang dan sewaktu-waktu menimpa zaman, bahkan sebelum impian itu menjelang, harapan sudah bertumpu penyerahan. Tapi itu hanya angan yang ditolaknya, hingga saat ini. Saat di mana Calla tidak akan terbunuh oleh penyakit, namun oleh mimpi dan harapannya selama ini—menyematkan senyum dalam kedamaian kecil zantedeschia-nya.
Diagnosis leukemia lymphoblastic-nya tidak seburuk kenyataan lain yang seolah belum puas dengan serangan takdir yang seharusnya cukup mematahkan tulang juang Calla. Canna, sahabat kecil Calla, yang menghabiskan nyaris sepenuhnya umur mereka untuk mengenal dunia bersama, menerjemahkan bahasa alam yang penuh makna cita dan kehidupan—membuat mereka merasa beruntung dengan masa depan yang mereka perjuangkan. Ia terserang sindroma caplan—penyakit sejenis paru-paru hitam akibat paparan debu batu bara dalam jangka waktu cukup lama—di mana penyakit tersebut belum ditentukan metode penyembuhan total.
Dua hari yang lalu, Calla tahu ia kehilangan sahabat terbaiknya, tidak sekedar untuk senyampang waktu, dan dia lebih merasa kehilangan jiwa terhadap kenyataan ini. Ia juga tahu orang tua Canna depresi dan bagaimana tidak? Melepaskan gadis penuh teguran jiwa, kebeningan batin, dan filosof makna yang familier dimengerti namun sarat kebenaran bukan setaranya sehembusan angin semata. Di sisi lain dukanya, Calla menemukan senyumnya—miris. Teringat persis ucapan Canna ketika kehilangan kakaknya beberapa tahun lalu,
Mereka yang menghilang, tak memiliki batas di antara kita. Semudah hidup menyusul mereka yang tiada. Meski yang tiada memiliki lika-likunya sendiri nanti, keabadian yang sebenarnya hanya satu. Sepedih mereka yang pergi dan tak kembali, dan kelak bertemu tapi tak mengenali. Sesederhana itu. Antara hidup dan mati.
Calla tak bisa berbohong, membohongi dirinya pun ia tak memiliki alasan. Ia memang bisa sedikit menakar, sisa masa yang tersisih untuknya—paling tidak, bukan waktu yang bisa membuat siapa pun tidur dan bermimpi. Namun setelahnya—setelah Canna memandangnya penuh tanya di keabadian—bukan keinginannya mempersulit yang rumit, bukan berharap segera mengakhiri yang disebutnya rumit, tapi bukan berarti mudah menentukan manfaat atas semua hal rumit ini. Karena sedikit pun, manfaat tidak tampak berguna.
Beberapa hari kemudian, Calla muncul di ambang pintu rumahnya. Sikap sederhana itu tetap membuat respon tak terencana bagi orang-orang yang menunggunya. Ibunya menangis, ayahnya tersenyum sarat kejujuran, dan Bela, sahabat sekaligus tetangganya, langsung menghabiskan Minggu paginya untuk mendengar suara yang telah lama tenggelam bersama malam.
“Kamu tahu apa yang selama ini aku pikirkan, Bel?” tanya Calla tiba-tiba, sesaat setelah begitu hening karena Bela kehabisan bahan cerita.
“Mm, kamu.. kecewa?” Bela mencoba menebak meski langsung mendapat penolakan dari sorot kegelapan mata Calla. Tapi Calla tidak sepenuhnya membantah, mau tidak mau ia pasti tampak mengaku. Matanya menolak tapi hatinya terabrasi bersama sisa minggu yang terhabisi. Kecewa, sedih, menjadi prioritas orang-orang untuk memandangnya, tetap, meski ia berusaha lebih tegar dari yang seharusnya.
“Kecewa? Untuk? Aku tidak memiliki lebih kuat alasan untuk itu, meski bagaimanapun kebohongan tidak pernah bertahan, kan? Tapi bukan, bukan itu yang kumaksud,” ucap Calla tanpa melewatkan sepatah kata pun dari seringainya. Tetap terkesan, pahit.
“Jadi?” Bela tidak bermaksud mendesak, tapi ia hanya ingin sahabatnya itu memiliki tempat di mana ia dimengerti, selagi Bela berusaha.
“Kamu tahu dan aku yakin pasti tahu tentang leukemia. Apalagi yang minat bacanya bisa dibilang over dosis sepertimu, aku tidak bisa menduga jika ‘tidak’,” jawab Calla, memandang ke depan penuh terawang, seperti udara merupakan zat pekat dan yang terbentang selain itu mengebas. Masih tersenyum, tak menyisakan tenaga di dalamnya, tapi cukup membuat Bela menabur makna bahwa kecewa tidak seberat apa yang ingin disampaikannya.
“Novel, cerpen, segalanya berbau fiksi, karya-karya menjelma melankolis dengan mengusung penyakit ini sebagai konflik. Klasik. Begitu-begitu saja. Tokoh mati karena leukemia tidak ada metode penyembuhannya dan menganggap waktu singkat itu benar-benar nyata di depan mata. Padahal, apa bedanya aku dan kamu?” lanjut Calla, sesekali mengerling ke arah Bela yang terduduk bisu di sisinya. “Apa bedanya aku dan kamu? Aku sakit, kamu sehat? Itu saja? Setidak adil itukah dunia dan kehidupannya?”
“Maksud kamu apa sih, La? Aku mulai vertigo nih, hanya memahami omonganmu aja,” kata Bela lagaknya bercanda. Tapi, Calla sedikit pun tak lekang dari raut datarnya.
“Aku dan kamu, berada, bertahan, bernafas di ranjau waktu yang serupa, semasa. Apakah cukup dengan penderitaan ini, aku dan kamu dibedakan.. oleh nasib? Apakah sesederhana itu mereka memandang, bahwa nasib di bawah ambang takdir? Lupakah mereka, bahwa nasib bisa kurangkum lagi?” jawab Calla, tidak bermaksud mengubah pola kalimatnya terlalu gamblang namun beberapa detil topik seharusnya bisa ditebak.
“Jadi, apa masalahmu?” Bela bisa menerima. Ia mengerti bagaimana situasi Calla yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Penuh canda tawa, ceria, dan riang harus terbayar dengan menjadi salah satu dari kelompok mereka yang menyesali hidup.
“Orang tuaku tidak cukup mampu menanggung konflik batin mereka, teman-teman tidak bisa berhenti menatapku dengan ratapan kasihan. Aku tahu segalanya telah berubah, dan inilah yang membuatku takut kembali. Takut tidak siap menghadapi sekarang.”
“Kamu tahu mengapa karang diciptakan? Mengapa ia terhampar di samudera? Dan mengapa ia hancur?” tanya Bela tiba-tiba dan sama sekali terdengar seolah mengalihkan pembicaraan. Calla mengikuti arus ini.
“Kamu tahu?” Calla balas bertanya.
“Tentu.” Bela menyeringai, tampak tegar di balik bulir air yang menggenang di tepi kelopak matanya, seperti perisai kaca melingkupi bola mata beningnya. “Karang diciptakan tidak semata-mata karena takdir. Ia ada karena apa yang seharusnya ia abdikan di muka bumi.”
Calla melihat permainan warna di mata Bela, seperti ngarai yang menyimpan nebula dan pelangi. Terpaan cahaya membias tipis, seolah terlukis halus di matanya, membuat Calla sesaat terkesiap namun seketika tersadar senja telah tiba, mengusung warna-warnanya yang tak bisa bersama. Juga menampilkan pemandangan sejuta kenangan oleh alam yang diubahnya, begitu damai.
“Karang tercipta dalam warna-warnya yang bangkit dengan hidup bersama samudera. Ia membiarkan keberadaannya melindungi ombak dalam keseimbangan. Membiarkan ombak itu jatuh ke pangkuannya yang tak selalu siap menerima keangkuhan yang berlebih-lebihan. Bahkan rela sesaat tenggelam dan menunggu ombak memberinya kesempatan lain, meski tetap ada saat ia harus gagal. Membiarkan tubuhnya memutih, seiring masa perjuangannya berkerumun dalam garam. Lapuk perlahan dan hancur puas tanpa menyisakan serpihan yang tak terelakan,” lanjut Bela yang kini menatap Calla lebih dalam, memaknai kata-kata dalam gambaran yang diusahakannya tersirat dalam gurat bahasa. Hanya ingin membiarkan Calla menerima jika ia tenggelam namun tetap muncul dan pergi tanpa pupus asa.
~***~
Calla nyaris melupakan sakitnya yang mengkonversi hati dan pikirannya berbulan-bulan sebelum ini—sebelum ia memilih berdiri sebagai anak normal dan memiliki harapan dan mimpi, selalu yakin akan pemandangan senja esok hari dan hangat bumi masa depan. Bahkan vonis usia bertahannya hingga dua belas tahun terpatahkan. Setiap orang melihatnya, bangkit dari ranjang dan melompat dari anak tangga ke empat paling bawah menuju dasar dan melesat ke dapur, membantu ibunya merias meja makan dengan hidangan yang beraneka aroma, tak luput dari daya minat Calla. Setiap orang melihatnya, menembus usia ke-15 tahun tanpa pengaruh pucat pasi di wajahnya, aura usang tubuhnya sama sekali mati.
Pagi itu, ia dan ayahnya berkunjung ke panti asuhan—ayah Calla bekerja di lembaga sosial yang menyantuni anak yatim piatu—untuk menyampaikan dana bantuan hasil penggalangan sejak empat bulan yang lalu. Ketika ayahnya memasuki sebuah ruang tamu kecil di blok paling depan, entah mengapa Calla tidak berminat ikut masuk. Mungkin karena pembicaraan yang dapat diperkirakan tidak mencapai pemahamannya atau intuisi.
Ia berkeliling di sekitar komplek panti asuhan hingga tiba di sebuah kebun sempit di blok paling belakang. Bunga beraneka ragam dan harum yang menyeruak setiap partikel udara menggubah suasana yang terlampau tenang, hingga angin pun seolah efektif membuyarkan keheningan. Benar, intuisi. Begitu banyak bunga yang dibiarkan merasakan keagungan alam, namun zantedeschia seperti menemukan surga. Kicir air buatan menepi di sudut dan menyalurkan air ke pengairan kecil-kecilan yang terus bercabang menyambut nafas bunga-bunga yang tumbuh. Tak jauh dari semak belukar yang mengimbas aura liar, zantedeschia bangkit dari kerimbunan tanah, dan seketika itu semak belukar kehilangan kepedihan. Lalu berjarak beberapa meter dari hamparan zantedeschia itu…
Seorang anak laki-laki, mungkin kisaran usia sepuluh tahun, duduk berhadap-hadapan dengan kanvas coreng-moreng tak karuhan—seperti abstrak, abstrak yang tak teorisitis. Calla menghampirinya, mengambil kuas yang terkulai begitu saja di atas palet yang mulai belepotan warna gelap saja. Calla menyampurkan beberapa warna cerah tanpa berpaling untuk memastikan sepasang mata yang menatapnya, bingung. Lalu ia hanya mengalihkan pandangan pada kanvas putih tertebarkan gelap pekat itu dan menggores sedikit demi sedikit kuasnya membentuk torehan warna baru yang cemerlang dan tampak sigap sambil berkata,
“Begini cara melukisnya..”
Lalu anak itu berhenti menatapnya dan pandangannya melayang pada warna yang seketika menutup kekelaman yang terbesit beberapa saat tadi. Membuatnya sedetik melongo, karena semudah itu Calla mengubah pemandangan menjadi stepa dan kebun-kebun zantedeschia padahal ia hampir berjam-jam tak mengubah posisi, terus berkutat pada palet untuk melebur hitam.
“Hitam kadang kelihatan tidak terkalahkan. Tapi di sini kamu menuangkan apa yang sempat kamu pikirkan, bukan sesederhana mencampur warna untuk sebentang lukisan. Tidak seperti matematika yang jelas memiliki kunci jawaban pasti dan selalu telak, atau ilmu alam yang di mana saja kamu dapatkan jawaban. Tapi seni, kamu mendapat jawaban hanya di hati,” kata Calla kemudian.
“Hitam bukan lawan yang mudah dicarikan setimpalannya. Ia harus ditumbuk berulang kali dengan inisiatif yang berganti-ganti namun dengan satu fokus yang konsisten, sehingga warna yang kau tuju itu bangkit dan hitam itu akan tenggelam. Memang, seolah semua warna di bawah kuasanya. Tapi, tidak demikian,” lanjut Calla kemudian meneruskan melukis hingga lebih dari separuh kanvas  mulai terisi sketsa.
“Tapi kamu harus punya strategi. Jika kamu tidak bisa mengalahkan hitam di medannya, lemahkan dia dengan kekuatanmu yang lain. Kamu tahu? Di sini kamu akan paham, jika kamu memiliki tekad lebih dari apa yang sebenarnya mungkin, kamu tidak akan menyangka kekuatanmu yang sebenarnya.” Calla pun selesai membuat sketsa lalu berdiri dan berniat beranjak, namun sebelumnya ia menepuk puncak bahu anak itu dan berkata, “kalau kamu mencampurnya di palet bersama segerombol hitam itu, mana bisa berubah warna? Bisa sih, tapi lama! Jadi kamu cuci dulu kuasnya lalu tutup warna yang salah di atas kanvasnya, di palet bukan untuk menutup warna, hanya untuk mencampur.”
Calla melangkah dalam derap langkah setimbang, tanpa mengurai senyum yang bertambatan di antara pipinya. Lalu tiba-tiba suara menyusulnya, riang di belakang, membuatnya kontan menghentikan langkah dan berbalik.
“Kak, besok datang dan melukis lagi ya!” kata anak laki-laki itu antusias, membiarkan binar matanya membuktikan kata hati.
“Oke!”
Pesan-pesan Calla dalam berbagai potongan—potongan waktu, situasi, dan keadaan—bak kerikil yang menggumpal menjadi batu besar yang dari masa ke masa semakin kokoh. Tak tertangguhkan masa lalu yang petang dalam keterpurukan. Tapi setiap senja punya malam, dan ketika malam tiba, setiap orang mengenangkan yang terjadi kala siang. Calla pergi bukan karena kesempatan bertahan melawan penyakitnya habis, namun akibat kecelakaan sepulang dari panti asuhan yang menyebabkan mobilnya oleng hebat dan ayahnya menanggung luka bakar. Tapi ia tak pernah percaya pada akhir kesempatan. Setiap kesempatan memiliki ujung pada takdir, kecuali tanpa perlawanan terhadap batas pertahanan. Paling tidak, ia tidak mengurung usia dalam vonis kosong yang mereka anggap seolah kepastian dan membuktikan bahwa tak ada yang salah dari takdir. Bahwa, leukemia tak pernah berniat membasminya atau siapa pun yang pernah mati karenanya, tapi harapan patah dan mimpi yang tertidur adalah kematian yang menyusul mereka, bahkan sebelum mati—dengan esensi nyata—dan bahagia dengan hidup yang tak bernyawa.

Minggu, 09 Oktober 2011

Unbroken lyric - Demi Lovato

Locked up tight
Like I would never feel again
Stuck in some kind of love prison
And threw away the key
Oooh oooh
Terrified
Until I stared into your eyes
Made me start to realize
The possibilities
So, So

I'm gonna love you like I've never been broken
I'm gonna say it like it's never been spoken
Tonight, tonight I'm letting go, go, go, go
I'm gonna give it like it's never been taken
I'm gonna fall like I don't need saving
Tonight, tonight I'm letting go, go, go, go

So played out
The same lies with a different face
But there's something in the words you say

That makes it all feel so real
I'm gonna love you like I've never been broken
I'm gonna say it like it's never been spoken
Tonight, tonight I'm letting go, go, go, go
I'm gonna give it like it's never been taken
I'm gonna fall like I don't need saving
Tonight, tonight I'm letting go, go, go, go

No need for me to run, run, run
You're making me believe in everything
No need to go and hide, hide, hide
Gonna give you every little piece of me

I'm gonna love you like I've never been broken
I'm gonna love you like I've never been broken
I'm gonna love you like I've never been broken

I'm gonna say it like it's never been spoken
Tonight, tonight I'm letting go, go, go, go
I'm gonna give it like it's never been taken
I'm gonna fall like I don't need saving
Tonight, tonight I'm letting go, go, go, go

Skyscraper lyric - Demi Lovato


Skies are crying
I am watching
Catching teardrops in my hands
Only silence as it's ending, like we never had a chance

Do you have to make me feel like there is nothing left of me?
[Chorus]
You can take everything I have
You can break everything I am
Like I'm made of glass
Like I'm made of paper

Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground
Like a skyscraper!
Like a skyscraper!

As the smoke clears
I awaken, and untangle you from me
Would it make you, feel better to watch me while I bleed?

All my windows still are broken
But I'm standing on my feet

[Chorus]
You can take everything I have
You can break everything I am
Like I'm made of glass
Like I'm made of paper

Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground
Like a skyscraper!
Like a skyscraper!

[Bridge]
Go run, run, run
I'm gonna stay right here
Watch you disappear, yeah
Go run, run, run
Yeah it's a long way down
But I am closer to the clouds up here

You can take everything I have
You can break everything I am
Like I'm made of glass
Like I'm made of paper, Ohhh woaah

Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground

Like a skyscraper!
Like a skyscraper!

Like a skyscraper!
Like a skyscraper!

Rabu, 20 Juli 2011

MENANTANG MATAHARI



Breaking every word in this world
with any ways which always try
to break us too
with any languages..
Selasak mata melayangkan pandangan menantang pada surya. Tak ada yang mengatakan itu adalah hal mudah. Bila mudah melayangkan pandangan pada bara arka, semudahnya kilat api itu membenamkan buta di ceruk retina. Sama saja mengancam resiko, mengobarkan perang pada nurani. Lalu sekerjapan mata, bumi tenggelam ditelan hitam. Indera bumi bergerak-gerak dalam sinyal katulistiwa di bawah kulit, dan mengerjap. Membuatku merasakan gejolak bumi yang sesungguhnya ketika…aku fokus! Membiarkan langkahku terperanjak ke setiap tempat buram, dan tubuhku terasa didera, diterpa, dipasak angin yang membuatku menyadari mala di sisiku. Dan kakiku memang sudah menggantung.. Menggantung pada udara. Seolah tebing ada di sekelilingku, bertebaran hingga hembusan nafas pun terdengar menggema. Atau mungkin ini bukan tamsil, bukan penglihatan mula dariku saja, bukan dugaan, bukan ‘seolah’.. Mungkin! Aku memang sudah jatuh dalam palung darat.. Sedang hanya menikmati ketidakpastian di antara titik yang menjatuhkanku dan menerimaku. Hanya berharap, titik akhir jurang ini—kepastian—berada mengujungi ambangku. Namun, sayangnya.. mengharapkan kepastian dari apa yang tak bisa terbayang bahkan sulit diterima. Logika dari apa yang tak logis bahkan tak jauh tidak mudahnya dengan menantang sang surya.
Ferena menghambur dari ruang kelasnya, menangis di balik pintu gerbang besi tempa merah bata yang menjulang menutup dari tanah sampai langit-langit gedung. Namun pintu itu menganga, sedikit menjepitnya ke dinding dan mendekatkannya ke sebuah pintu ruangan. Bukan hal biasa, pintu itu tertutup palang baja. Biasanya ruangan ini paling hiruk, suara menggaung dan menggeletar di tanah sekitar ruangan itu. Namun sekarang yang tersisa hanya imaji salung bisu.
Keadaan begitu cepat berubah, secepat ia berlalu. Ferena bukan menangisi keadaan yang memang sudah bisa dipastikan, cepat atau lambat pasti akan ada yang berbeda. Ia tidak menangisi hilangnya keceriaan di udaranya. Tidak menangisi kesunyian yang membekap ruangan di belakangnya. Tidak menangisi apapun, kecuali dirinya. Berpikir dalam daur angan yang tidak berujung, namun yang lebih memusingkan adalah keadaan yang terbawa arus sedang dirinya terdampar.
Kemudian suatu pagi, Ferena menulis di buku kecil ungunya serambi memandangi melati-melati yang tumbuh alamiah di antara rumput-rumput di tepi dinding rumahnya, melati yang seolah menangis dalam balutan embun bening di ujung mahkotanya. Sesaat tatapannya jatuh pada alamanda yang membebat pagar rumahnya. Tidak mati tapi tidak tegar. Dinginnya pagi mungkin belum familiar baginya. Ini hanya masalah waktu.. Tapi mungkinkah alamanda itu masih mau memikirkan waktu saat hidup tak pernah mementingkan waktu? Hidup adalah.. kebutuhan dan harapan. Terlalu dilekangkan waktu membuat hidup menjadi mimpi. Ya, alamanda itu pasti segera mati jika bernafas di musim seperti ini. Lalu apa mungkin memaksanya tetap di sana dan.. menunggu??
Saat aku menyadari kerapuhanku dalam bilik langit dan jantung surgawi, aku merindukan dunia yang sesak dan pedih. Ketika aku memejamkan mata dan melihat suka dan tawa, aku mengimpikan tangis bersama sahabat di bawah naungan angkasa. Lalu aku berjalan menyusuri sungai ribuan minuman atau gunung ribuan perkebunan, aku menginginkan derita yang larut dan berdifusi di antara udara kebersamaan. Lalu aku merasakan harmoni sunyi dan damai di antara hembusan angin yang bungkam serta gemercik air yang senyap dan salju-salju yang lembut, namun aku justru mendambakan kebencian atas apa yang sepantasnya dibenci serta syukur atas kebencian orang-orang yang seharusnya dibenci terhadapku. Dan aku sekarang semestinya bahagia dan tersenyum, namun aku justru larut dalam kepedihan tak terjamah, hasrat bimbang tanpa terjemah, dan senyum dangkal memortal air mata menatap mereka yang lemah.
Ia tak tahu bagaimana bisa, bagaimana cara, bagaimana dia.. dan bagaimana segalanya kembali! Yang ia tahu, ia harus mengakhiri ini meski telapak tangannya bukan kuasa atas nafas-nafas di sekelilingnya, bukan kendali kefanaan yang tak pernah mudah diduga bahkan kadang tak terduga. Adakah yang logis sekarang ini? Saat logis benar-benar relatif dan justru logika menjadi kekang atas sekat di kerongkongannya. Masih dapatkah mengambil langkah logis atas puing-puing yang jatuh tanpa sebab rasional? Atau mengharapkan logika menemukan celah atas apa yang menerpa tanpa kejernihan yang …logis?? Dan apa yang ia pandang dengan logika, adalah buram bagi logika mereka yang menyidangnya dengan kata-kata logis bahasa mereka.
Lalu ia berkata dalam hati, “Membenci apa yang tak pantas dibenci dari apa yang gelap di balik bayanganku sendiri seketika aku mundur dari cermin, bahkan tak bisa dianggap bijaksana sedikit pun.”
Lantas dirinya sendiri menjawab, “Dan adakah yang mereka anggap bijaksana mampu menjadi bijaksana bagiku? Saat apa yang bijaksana atas mereka tak pernah dan tak mungkin tercatat dalam traktat hidupku? Bahkan apa yang bijaksana bagi mereka adalah jurang di benakku.”
Dan hati lainnya berkata, “Lalu aku harus membiarkan pola itu melingkupiku, dengan realisasi ini hanya masalah waktu?? Begitu?? Dan semudah itu menunggu sekali pun mereka menawarkan sisa waktu?”
“Setidaknya tidak selamanya. Belum. Belum sampai aku mati.”
“Dan selamanya akan punya waktu lain saat hidupku terlalu hambar terhadap kehidupan. Saat estetika hidup bahkan tak mengerti maksud mati, tak jauh berbeda.”
“Atau hidup mereka untuk menghakimiku? Bahkan yang tak terlahir meronta dilahirkan.. dan yang tiada memekik dikembalikan?? Sehingga mereka tidak menerimaku menghilang, dan bahagia selama aku terus merasakan ini. Belum sampai titik darah penghabisan-kah? Atau tidak akan ada esensi titik darah penghabisan???”
Lalu Ferena limbung didera air matanya dan tangisan sepi yang diiringi pekikan hati dalam gerbong jiwa yang terlalu bungkam untuk membuka diri. Atau bahkan tak mungkin lagi membuka diri. Semungkinnya itu, tak sampai mungkin merubah apa yang terlanjur diukir. Ya, diukir atau dilebur.
_rqueeneland

Minggu, 26 Juni 2011

Virtual DJ Home v.7 - download software for free -


Digital deejaying has skyrocketed in popularity over the past five years and it's no wonder why. Compared to a full vinyl setup with all the hardware and physical media it requires, an MP3-based mixing station is extremely simple and cheap. There's even free software to get you started, and one of the most popular programs available is Virtual DJ.
Virtual DJ is often packaged with USB-based hardware mixing consoles from the likes of Hercules and Numark, and, in fact, if you really want to delve into the full array of features, such devices are going to be a necessity--and they'll require a $99 license fee to upgrade to the Pro version of the software. That said, you can download the app for free by itself and make very basic mixes and playlists.
While the program isn't specifically geared at newbies, it is intuitive enough for a musically inclined individual to use right off the bat. Once installed, Virtual DJ automatically populates a folder tree in the bottom left corner where you can easily access your music collection. The bottom middle serves as a tabbed, multifunction area where you can browse tracks, sample music bites, add effects, and make recordings.
The top of the window is dominated by two digital turntables, which are distinguished by color: blue on the left and red on the right. Each one has the ability to cue, loop, adjust pitch, scratch, and shift (among other features). In the middle is the mixing console, where you can adjust the gain and master volume, as well as transition between the two tracks. Once the songs have been dragged and dropped into the console, a bar along the top displays the sound waves of each to help with visual mixing. There's also a video input option that lets you create montages to the music.
The stylish interface and high number of features score points, but learning how to use the program is a hit-or-miss proposition. To be perfectly honest, using it without mixing hardware (that is, just a mouse and keyboard) is a challenge, and not one we enjoyed, so we recommend hooking up a compatible USB controller. Also worth a look: the thorough online user guide.
source_download.cnet.com
Get Virtual DJ Home v.7 right now :

TweetDeck_0_3.75 - download software for free -



The dark gray TweetDeck beta is one of the more attractive Twitter desktop apps out there. With it, you're able to engage with Twitter tweets much as you can on Twitter.com, and then some. TweetDeck beta, for one, also lets you follow friends' Facebook and MySpace status updates. It shares some similarities with Seesmic Desktop in its default tri-column view, which you can also shrink down to a single column. The requisite filtering buttons and other management tools help keep your in-box tidy. Like other Twitter apps, TweetDeck beta shortens links and manages pictures. You can block and unfollow contacts, even reporting them as spam.
The extras make it nice. TweetDeck beta includes a translation tool, and has recently added syncing, so you can keep your feed preferences and feed content identical on multiple computers and even the iPhone. It offers a lot of visual customization options, and the capability to add new columns, to keep up on search terms, for example.
TweetDeck beta still has some growing to do, especially in making its additional features a little more intuitive. So far its feature set is encouraging, and more robust than other, better established Twitter apps.
source_download.cnet.com
Get Tweet_Deck soon here :

Sabtu, 25 Juni 2011

Aku Ingin Kalian Tahu

Di dalam kubu debu dipaku laku
Awak kapal menyerbu samudera batu
Menyelami danau waktu
Ditelan bahana denting pilu

Angin membisingkan telinga
Di antara gemeresik luka dahan kemarau
Tanah menggeletarkan raga
Seiring nyanyian salung-salung parau

Aku berdoa di tengah gelapnya malam
Disaksikan jalak-jalak merenung duka
Aku bersimpuh merintihi luka kelam
Dicacikan pasak-pasak bara baka

Aku ingin kalian dengar tangisanku
Yang jauh larut tenggelam dalam hatiku
Aku ingin kalian saksikan lumpuhnya kakiku
Mengejar angan di ujung tonggak untuk seulas senyummu
Aku ingin kalian hadiri kematianku
Karena cacian yang melukai bah darah dalam jiwaku
Yang memperjuangkan rasa bangga darimu!

aku ingin kalian menjenguk ke balik tirai yang tak pernah kalian kunjungi sejak beberapa tahun silam..
dan akankah kalian peduli,
kerinduanku pada suara kalian di antara dinding lapuk itu yang sekedar mengatakan,  selamat malam
dan akankah kalian peduli,
kesia-siaan air mata yang jatuh meronta dari mataku yang tak sanggup menatap kegelapan yang dipekat kelam..
Terlalu dalam,
cacian itu melukai setiap langkah perjuangan....

_ur little daughter here, want you to know.. I miss you

Photoshop CS4 Extended *Free* - download software for free -




The good : Veteran set of powerful imaging tools; streamlined user interface; more extensible and customizable; completely overhauled 3D engine in Extended version.
The bad: More of a memory hog than Photoshop CS3; print features and type engine still in dire need of an update.
Bottom line: If you work with 3D, Photoshop Extended is a must-have upgrade; ditto if you think you'd use more of Standard's tools if the interface were less opaque, if you need to upgrade other suite applications, or if you qualify for an academic discount. All things considered, while Adobe Photoshop CS4 makes some improvements over CS3, it might be worth skipping this generation and waiting for the next.
Review:
There's just enough that's better in the CS4 updates to Photoshop and Photoshop Extended--most notably, usability improvements for core features--that many people will find themselves sighing, biting the bullet, and upgrading. If you work with video or 3D, or want to update your Creative Suite to CS4 for other reasons, this is a no-brainer; for the rest of us, there's little you can do with CS4 that you couldn't do with CS3, and the latter seems a bit faster and more memory efficient in some respects.
source_cnet.com
download portable free here
Photoshop CS4 Portable.rar
Don't worry because even if it is portable feature, you can choose a single feature during installation (if you have had Photoshop CS3)

Jumat, 24 Juni 2011

Mimpimu, Rumahmu

Dan di sana ada taman, seperti orang mengatakan keindahan agung itu "Firdaus"..!
Aku melihat burung-burung itu berwarna jernih dan cerah, mataku terasa berkilat-kilat menatap semua itu. Seolah cairan kebeningan dibubuhkan di mataku, rasanya.....ah, aku tidak bisa menjelaskan perasaan yang terlalu indah itu. Lalu aku berjalan mengambil minuman, minuman itu berwarna-warni...Hmm, aku bisa memilih kapanpun, apapun, di manapun... Minuman itu tidak terbatas dan aku seperti raja di sana. Memiliki ribuan pelayan yang tak kenal lelah dan setia menemaniku. Waaaahhh..
Andai ibu tidak membangunkanku, aku bahagia sekali dalam mimpi itu :)


Adikku ceria sekali bercerita tentang mimpinya pagi itu. Aku antusias mendengarkannya. Entah mengapa, aku ingin mendengar suaranya waktu itu. Padahal biasanya kami bertengkar hingga ibu bisa benar-benar marah pada kami jika keributan yang kami buat mulai terlampau merepotkan. Wajah sangat ceria, cemerlang, hangat seperti mimpi itu benar-benar terjadi padanya beberapa saat lalu. Dan aku dapat merasakan kebahagiaan yang adikku rasakan dari kisahnya. Senyumku pun ikut mengembang setiap kali kata berikutnya dirangkaikan menjadi kisah utuh yang menggambarkan mimpi indahnya itu. Benar-benar indah :D

Kemudian aku segera menghabiskan roti bakar yang dibuatkan nenekku untuk sarapan. Segera aku meringsut ke garasi sepeda dan meluncur ke sekolah. Ketika aku membuka sebuah buku catatan Matematika, ada sebuah kertas kecil yang disobek awur-awuran dan tertulis..
Kak, kapan-kapan... antar aku ke tempat itu ya? Kalau kakak dah tahu tempatnya di mana..
Selesai membaca pun aku terkikik, membayangkan aku menemukan tempat itu. Adakah tempat seperti itu di dunia ini? Atau jika ada...mungkinkah belum ada yang tahu hingga zaman telah seperti ini? Atau jika aku memang yang pertama menemukannya, akankah aku ingat untuk mengajak adikku?? hahaha. Ya, lucu sekali bocah itu. Aku juga tak lupa membayangkan keceriaannya saat menulis catatan ini. Bahkan sejak kapan bocah itu berinisiatif menulis catatan seperti ini padaku????

Aku pun berinisiatif untuk menunjukkan pada adikku foto air terjun Niagara yang menurutku memiliki pemandangan sangat indah. Dia pasti kagum dan mengira aku sudah pernah ke sana. Lalu dengan tampang memohon-mohon memintaku mengantarnya ke tempat itu. Atau marah-marah karena ia kira aku pergi sendirian tanpa ingat untuk mengajaknya. Hahaha, aku memang suka membuat adikku sewot..

Setibanya di rumah, aku memanggil adikku.. Membunyikan bel sepeda dengan harapan adikku akan muncul menyambutku dan masih memohon padaku untuk mengantarnya ke tempat dalam mimpinya itu..
Tapi tetanggaku malah yang muncul dari ambang pintu rumahnya dan menatapku heran..
"Lhoh dek?? Nggak ikut ke rumah sakit po?? Adiknya tabrakan..." kata Bu Ning.
Aku bergeming, menjala kesalahan dari perkataan itu. Entah Bu Ning atau telingaku. Tapi tidak, Bu Ning semakin menjelaskan kebenarannya,
"Adik ditabrak sedan di jalan besar waktu menyabrang habis beli rujak es krim..."
Aku terkesiap dan buru-buru memutar stang sepeda dan kembali melaju.
Bodoh! Bagaimana bisa aku melaju begitu saja??? Memangnya aku tahu adikku di rumah sakit mana???
Tapi, masa bodoh. Aku hanya berpikir, pastilah rumah sakit terdekat.
Dan dugaanku benar. Aku melihat ibuku duduk di kursi tunggu di depan reservasi. Aku menghampirinya dan baru menghela separuh nafas saat kemudian melihat ibuku menangis..
Ibuku menatapku lalu menggeleng pelan, menahan tangisnya dengan susah payah dan hatiku tiba-tiba terpukul seperti dibentur karang. Aku tak bisa menahan isakanku dan membiarkan air mataku menetes di atas gambar Niagara yang seharusnya kini menjadi milik adik kecilku itu. Melihatnya merengek manja lagi, itulah yang kurindukan.. Merengek padaku, kak... kapan-kapan antarkan aku ke tempat itu ya, kak?? Dan.. kini, mungkin kau sudah benar-benar tiba di tempat itu, dik...

_in imagined

Someday lyric - OST Little Thing Called Love (terjemahan)

Dan lagi...lagi.... nerjemahin lagu :DD hehe
check it out >.<

Aku tak tahu berapa lama ini berlalu
Bahwa aku telah menahan segalanya
Aku masih menyembunyikan kenyataan di dalam hati
Setiap kali kita berjumpa
Setiap kali kau menatapku
Berpikir aku tidaklah berbeda
Tahukah kau betapa aku berusaha mengekang diriku sendiri?
Dapatkah kau mendengar hatiku memanggilmu, menyayangimu?
Tapi aku tak mampu membuka hatiku untuk setiap orang agar tahu
Dapatkah kau mendengarnya?
Hatiku masih menunggumu
Menunggumu membuka hati
Dan berharap kau akan menyadarinya....
Suatu hari nanti

Berpikir aku menyayangimu
Berpikir aku merasakan
Tapi jauh di dalam hatiku, aku tak berani menyatakannya padamu

Setiap kali kita berjumpa
Setiap kali kau menatapku
Berpikir aku tidaklah berbeda
Tahukah kau betapa aku berusaha mengekang diriku sendiri?
Dapatkah kau mendengar hatiku memanggilmu, menyayangimu?
Tapi aku tak mampu membuka hatiku untuk setiap orang agar tahu
Dapatkah kau mendengarnya?
Hatiku masih menunggumu
Menunggumu membuka hati
Dan berharap kau akan menyadarinya....
Bahwa seseorang benar-benar telah mencintaimu
Memohon, aku berharap kau akan mengetahuinya
Suatu hari nanti


red_Someday

Like A Song lyric - Lenka

I can't forget you when you're gone
You're like a song that goes around in my head
And how I regret, it's been so long
Oh, what went wrong? Could it be something I said?

Time, make it go faster or just rewind
To back when I'm wrapped in your arms

All afternoon long it's with me the same song
You left a light on inside me, my love
I can remember the way that it felt to be
Holding on to you

I can't forget you when you're gone
You're like a song that goes around in my head
And how I regret, it's been so long
Oh what went wrong? Could it be something I said?

Time, make it go faster or just decide
To come back to my happy heart

Haunted-Dihantui (my version)

Terjemahan dari sebuah lagu..
Menginspirasiku tentang sesuatu..
Dalam hidup seseorang yang menceritakan kisah rumitnya padaku...
Hanya saja, mungkin tidak sepenuhnya benar, karena sejauh ini.......aku barulah pendengar setianya :)

-Dihantui-

Aku dan dirimu berjalan di lintasan yang rapuh..
Aku telah mengetahuinya selama ini..
Namun aku tak pernah mengira aku harus melihatnya hancur..

Aku berusaha tetap bernafas
Tak ingin melepasmu lagi
*Tak ingin melihatmu lagi
Sesuatu membuat tatapanmu berubah dingin

Jangan tinggalkan aku seperti ini
Kukira kau telah memahamiku
Sesuatu menghilang
Sesuatu yang rusak begitu mengerikan
Kau segalanya yang kuinginkan

Jangan tinggalkan aku seperti ini
Kukira kau telah memahamiku
Tak sanggup bernafas ketika kau pergi
Tak mampu kembali saat ini
Dihantui

Kamis, 23 Juni 2011

Apa ini? Apa itu?

Bukankah menghirup udara itu sangat mudah?
Tapi menghirup udara yang memungkinkan diri kita agar tetap bernafas, tidak mudah..
Seperti..
Menjala ikan, sangat mudah.. tapi saat kita membutuhkan "sesuatu tertentu" belum tentu yang kita inginkan termasuk di dalamnya..
Hidup ini kadang seperti ranjau,
memaksa kita hidup di antara situasi yang menyesakkan, situasi yang tidak diharapkan..
Tapi siapa bilang itu selalu buruk?
Selama ranjau itu masih mengizinkan kita hidup? Situasi tidak selamanya buruk.
Karena kita hanya sedang bermain boneka tali..
Tangan kita, otak kita, memutuskan.. memikirkan.. memilih segalanya.
Termasuk perasaan, akankah kita sedih? akankah kita marah? akankah kita bahagia? akankah kita kecewa? akankah kita "merindukan sesuatu"..?
Ya, dan di sinilah.. aku! Terjebak ranjau itu.. Dua kali terjerat ranjau.. Tapi aku bukan kerbau, yang berarti mengulang-ulang kesalahan. Sebab aku menyadari, kesalahan tak akan selamanya menjadi kesalahan seiring permukaan bumi bergilir menantang matahari.. Aku merasa seperti bintang, yang dengan mudahnya menikmati keindahan alam di bawahnya, menikmati keindahan dirinya sendiri dikelilingi situasi yang sebenarnya kelam namun indah bersamanya. Dengan mudahnya, memperoleh tempat ternyaman, karena kuasa'Nya.
..
Aku pernah melalui satu tahun bersama anak-anak yang sampai sekarang masih bergitu kusayangi. Teman-temanku kelas 1 SMP.. Seberharga mereka, hingga aku bisa merelakan air mataku menjadi bayaran atas semua kesalahanku pada mereka yang membuat mereka seolah jauh dariku. Mungkin aku bisa melakukan apapun untuk mereka (dalam batasku).., tapi mau tidak mau, satu tahun harus berlalu tanpa suasana dan situasi yang selalu kurindukan itu.

Tahun 2011, kulalui bersama anak-anak baru di kelas 2 SMP. Aku tidak menyangka, oplos atau mungkin mereka sebut dengan seleksi ini menempatkanku pada kelas 8A..
Hah, aku merasa benar-benar mati kaku di kelas ini.. Ruang gerak terlalu terbatas. Inikah? Yang mereka katakan .. kompak?
Beberapa hari terasa terlalu monoton, diam, tidak ada sedikit pun hal berarti yang memperlihatkan kekompakkan.. Aku bosan, aku merindukan teman-teman kelas 1 SMP-ku. Terlebih teman-temanku yang dulu mengeluhkan hal yang sama. Aku nyaris selalu menahan tangis di dalam kelas baruku itu.
Kesan??
Ambisi, obsesi, bersaing.. bla bla bla.... ini melelahkan!! Bukan diriku, aku tidak bisa mengikuti pola pikir ini karena aku tidak suka hidupku dipersulit tapi aku juga tidak mungkin tinggal diam saat seluruh situasi seperti itu. Satu kata?? Adaptasi. Hah, aku tidak yakin masih mungkin kembali hidup-hidup setelah mati-matian berusaha mampu beradaptasi..

Siapa yang mengira??
Kisah buram masa lalu kelas 8A ini menjadi kisah tak terjamah (terlalu indah, terlalu berkesan, terlalu..terlalu.. terlalu.. tak mampu dimaknai dengan sekedar kata-kata.. seolah kosa kata dalam kamus sekali pun dengan ribuan, jutaan, milyaran bahasa.. tak mungkin cukup mengisahkan arti yang sesungguhnya di benak kami masing-masing *lebayy) :D tapi memang benar... Aku tak pernah bisa mendapatkan kata yang cocok, sesuai..dengan rasa yang ingin kuungkapkan. Atau kata itu ada, menyala terpikir, siap di ujung bibir, namun suaraku tak sampai mengatakannya.. Sulit memastikan, itukah yang kumaksud??? dengan... apa yang ingin kukatakan, apa yang kurasakan..
Cinta??? ABABILL... Karena remaja??? Apapun yang disebut 'cinta' is everything whatever we use to be.. Alaahhhh.. nggak bued.haha #plakk

Nggak..nggak.. serius!!

Cinta tidak memberikan keceriaan, kebahagiaan, ketenangan, kenyamanan sebanding dengan apa yang kudapatkan dari sahabat-sahabatku ini.
Kalian tahu?
Saat bersepeda?
*Bantul-Ndepok ; Bantul-Taman Sari-Vedreburg*
Class meeting?
*Basa-basamu tjah... kates, telo, tukang wesi, nyumo, sampe rempooonggg gtoooh... wasite alay bued.haha*
Penelitian biologi sama Mbak-mbak'e yang sukanya meksa-meksa?
*Nggak pernah ngisiin LKS sampe tuntas, mainan suntikan yang gedhe-gedhe buat sembur-semburan. Eyil-eyilan sama mbak-mbak'e ngansi umub :pp ^^*
Pensi?
*Memecahkan masalah bukan masalah kita, try to dance for the first time. Thriller nya keren banget ;D*
Maket?
*Frustrasi... numpuk seadanya...... Paling rapi juga paling punya endan *atul* sama endral *nur*..*
Numpuk tugas?
*Haha, paling males nggenepi tugas... boro-boro ngumpul, nggarap aja malah pada ndongeng atau kalo nggak malah kejar-kejaran sama si pill-mu :DD*
Remidi TIK?
*Kalo apapun dengan kebersamaan, ringan rasanya :DD haha*
Biologi bareng Pak Nevo?
*Bukane bikin laporan, malah ngajak Pak Nevo foto-foto.. Ya udah, ditagih laporan.... kagak ada yang punya..haha*
Waktu ada tamu dari Kalimantan?
*Dah disuruh Pak Dar bersihin kelas, nggak ada yang nurut.. Eh malah ada yang nggantungin celana di papan absensi, bahan maket mobar-mabir sampe pada frustrasi minta gedungnya dijebol aja..habis kotornya, ancurnya kagak ketulungan. Yang cowok nge-game terus... hadeeehh. Eh ada tamu dari Kalimantan, langsung ngliatin celana yang digantung di papan absensi,...terus lantai yang ketempolan plastisin, lem, dan cat... Kursi jungkir jempalit,.. makanan dah pada habis bungkusnya masih disimpen aja. hahaha*
Kalian semua berubah?????
*hahaha ya. memang! Kalian berubah! Kelas yang pertamanya kayak makam ini dah jadi pasar malem seiring bergulirnya waktu. Elida!!! Kamu keren bued..haha *gaya Prima gtoooh. Sekarang berani ngomong yang dulunya kagak level kamu, pulang sore terus sampe mbarengin aku ;DD, kamu juga dah ketularan suka ngejek orang..ahhahaha *rempong gtoooh. Kamu juga dah kagak on-time lagi kalau ngumpulin tugas *kayak aku juga...hahaha.
Anak 8A bisa nglucu juga.hahaha
Anak 8A bisa seru juga, bisa bikin nangis juga, bisa perhatian juga, bisa kompak juga *masalah tugas :DD* bisa-bisaaaa aja ngrayu ulangan diundur-undur terus.... hahaha. Bisa cerewet juga pas classmeeting, bisa nyanyi semua lagi ;DD, nonton film horor, drama asia, sama love story hobi banget ;DD
Bisa ngrayu Bu Yayuuukkkk...hahahahaha
Bisa banget ngrasani orang. ;DD
Waaaahhhhh, pokoknya kalian makin lama makin nunjukin kalo kalian bisa apa aja yang tak kira nggak bisa itu ;DD.hahahahadduuuuhh
dan masih buanyaaaaakkkkk lagiii....

Terima kasih 8A atas perkenalan kalian dengan persahabatan ini.
Terima kasih atas hutang foto kopi yang belum disaur juga sampe sekarang.
Terima kasih atas solidaritas dan kekompakan kalian yang berakhir terlalu menyenangkan :DD
Terima kasih menyadarkanku bahwa ranjau tidak selalu membuatku sesak bernafas, atau sebenarnya menyediakan nafas tersendiri bagiku yang memungkinkanku hidup di antara keasingan yang telah lalu.

For all in Trasada_Class^^
 
© Copyright 2035 Scarlet Threads Me
Theme by Yusuf Fikri