Selasa, 14 Mei 2013

Sewarna

Air itu tampak diam di pandanganku. Segala benda di hadapanku sewarna, kelabu.
Merasa sangat ingin menangis, luar biasa ingin. Merindukan rasanya dibuang dunia pada sudut terpedih kehidupan. Bahkan aku tak ingat terakhir kali aku menangis. Saat rasanya semua menjadi lebih mudah hanya dengan menangis, ketika tak ada lagi yang bisa dilakukan. Tak lagi ingat caranya memulai, tak ingat caranya melepas, semua begitu saja erat dalam genggaman. Juga, sakit perih ini.

Minggu, 12 Mei 2013

Lorong dan Langkah-langkah kaki


Kemudian lorong-lorong itu seolah membentang leluasa, melipat tumpukan hening di antaranya. Hanya derap sepasang kaki—entah milik siapa—mengisi sela lipatan lainnya. Langkah kaki itu tak sepenuhnya meregang keheningan pekat di lorong-lorong itu. Dengan langkah yang terdengar lemah—mungkin diangkatnya kaki-kaki itu dengan gontai—lelah, penuh keluh yang tak terpapar seperti itu, tidak mungkin.
Mungkin hanya lorong itu yang tahu. Seandainya ia tidak bisu, mungkin ia satu-satunya yang akan menanyakan sesuatu. Jika saja ia bukan bata dan kayu, mungkin hatinya yang pertama luluh. Namun dia tetap hanya lorong, yang ia tahu, langkah itu tidaklah sia-sia dan kelelahan itu selalu nyaman menyusuri lantai dingin yang hampa dalam dekapnya.
Mereka tak cukup banyak mengetahui, bagaimana manusia yang melintasi lorong itu adalah manusia yang siap dibantai. Jika berani bertaruh, bahkan mungkin hingga tulang persendiannya! Lorong itu tak akan muncul di mana pun lalu memaksa manusia yang melaluinya menantang ajal. Atau memanggil-manggil penuh hasrat, lalu mendatangkan mereka dalam tipu daya. Tidak! Lorong itu cukup mulia untuk membiarkan mereka memilih dan pergi menjemput miliknya: kesuksesan atau kehancuran.
Namun lorong itu kadang menangis, menjadikan kegelapannya seperti tak mungkin luntur, ketika manusia menolak diuji. Memilih membaca batu berlumut atau arah angin. Tak sepenuhnya seprimitif itu, namun itulah kemungkinan terburuknya.
Langkah-langkah itu hanyalah langkah, yang bergerak menembus hitam bayangan yang terkepung dalam kegelapan menyesakkan. Langkah-langkah itu hanya perlu melangkah, tanpa sempat mendengar gelegak tawa di balik lorong, mungkin malah tidak juga mendengar langkah lain di satu lorong. Mereka hanya ingin memastikan gerak mereka tepat. Menemukan pintu bukan lubang terjal. Menemukan cahaya bukan tipu daya.

~catatan untuk teman-teman seperjuangan yang sangat luar biasa di sana~

 
© Copyright 2035 Scarlet Threads Me
Theme by Yusuf Fikri