Senin, 30 Januari 2012

KAMU! YA KAMU! RENUNGKAN INI ..

Jangan sombong karena kau menderita..
Berpikir seolah hanya kau yang merasa..
Mereka pun punya cara,
untuk menjadi diri mereka..
Bisa berharap dan memiliki mimpi..
Berpribadi dengan naluri,
yang kau tak berhak ikut campuri..
Adaptasi terhadap dunia yang kau anggap kejam ini,
secara yang tak berhak kau hakimi..
Jangan kau anggap mereka tak kenal hukum,
sadarlah, apa kau sendiri telah mengenalnya??
Apa kau tahu apa hukum itu sebenarnya?
Apa kau tahu apa hukum yang berlaku bagi kita?
"SAYA YAKIN, KITA SAMA-SAMA MERASA MEMENUHI"
Tapi tidakkah kau sempat memutar klise hidupmu beberapa waktu silam, sejenak?
Sebagian besar ketahuanmu, sebenarnya :
Kau hanya tahu,
semua orang harus menjaga perasaanmu..
Harus peduli padamu..
Harus mempertimbangkanmu..
Tanpa kau ingat, kau bukan satu-satunya.
Bukan satu-satunya YANG MEMBUTUHKAN.
Bukan satu-satunya YANG MENDERITA.
Tanpa kau coba, memberi mereka alasan membenarkan apa yang kau ketahui itu..
Sadarlah, kita sama-sama berusaha!
Hargailah, usaha mereka mengabulkan harapanmu
dan tetap mempertahankan kodratnya sebagai makhluk sosial.
Kita pada KEHIDUPAN, bukan lagi main drama!

_rqueeneland

Sabtu, 14 Januari 2012

NEW WAY FOR BLEED

Seolah sudah melihatnya--serangkaian takdir menjadi bayang-bayang di benakku. Seperti rapalan mantra, esoknya.. mereka semua menjadi kenyataan!


Pertama, aku menuduhnya sebagai tersangka kehancuran pertamaku. Memvonisnya seumur hidup terkutuk di mataku. Bagiku ia tak lebih dari penghancur, tak ada yang lebih buruk dibanding keberadaannya di dunia ini.


Kedua kalinya, aku semakin menganggap dia alasanku terombang-ambing di tengah danau sandiwaranya. Aku mulai membidikkan hinaan kepadanya. Yang terpenting dalam pikiranku saat itu, dia harus mati lebih dulu dan mempertontonkan itu di hadapanku sebelum aku harus menyusulnya. Kalau tidak, aku harus mati karena kematiannya. Tapi tak ada yang lebih mencela daripada mati bersamanya.


Ketiga kalinya, aku tak peduli apapun yang dia lakukan untuk melumpuhkan indraku. Apapun yang dia lakukan adalah salah dan selamanya salah bagiku. Tak perlu aku membuang waktu untuk mencari titik permasalahanku padanya, karena bagaimana pun dirinya, dalam pikiranku adalah "salah"!


Keempat, aku merenung. Benarkah ini salahnya? Benarkah selama ini aku menunda kebahagiaanku karena dia? Dan suatu malam yang sayup, purnama bangkit ditengarai langit suram. Aku melihat jawaban di antara gelap gulitanya tengah malam. Lalu aku berusaha memulai.


Kelima, sandiwara lain beradu. Aku berpacu membuat sandiwara yang lain. Sejauh itu aku ragu, apakah aku sudah terlalu menyimpang? Seberapa jauh aku membohongi diriku sendiri??
Dengan cara ini, aku menemukan dosaku yang lainnya..


Keenam kalinya, aku terbiasa dengan menyalahkan diri. Membuatku justru melihat hina di cermin. Aku gusar, apakah aku benar-benar selalu salah seperti itu? Aku memandang tanggapan orang secara melenceng dan bertanya lagi dalam hati, benarkah itu tadi adalah cara menyalahkanku?? Aku sudah terlalu jauh, sangat jauh. Hingga aku tidak menyadari kebenaran bagi siapapun, termasuk bagiku. Dan aku mulai tidak menyadari inti-inti penting kehidupan, inti penting yang mereka--yang kusayangi--berikan untukku.


Ketujuh, aku mengabaikan dia. Dia yang menjadi pelampiasan dosa-dosaku selama ini. Tak lagi terpengaruh keberadaannya untuk terluka. Tapi juga sedikit demi sedikit telah menemukan rumah untuk bahagia. Hipotesaku telah utuh dan sempurna meski metamorfosa hidup tak akan lepas dari kodratnya. Aku memang tak akan sepenuhnya pulih, tapi aku bisa baik dalam kondisi baru ini. Karena aku tak akan menunda kebahagiaan untuk menantikan syarat bahagiaku penuh. Akulah yang memutuskan hari-hariku untuk berbahagia. Aku tak perlu takut dan mengorbankan senyumku karena bayang-bayang menyedihkan di benakku. Bayang-bayang itu membuatku menyalahkan takdir, dan melihat ketiadaan nilai-nilai yang baik. Bukan aku yang hebat karena apa yang ada di pikiranku menjadi takdir di keesokan harinya. Namun benar adanya, pikiran merapalkan mantra. Secara biologis, syaraf-syaraf yang berpikir memang menyalurkan sinyal respon terhadap pikiran itu sehingga apa yang kuperbuat akan mewujudkan pikiran itu. Namun secara psikis, perkiraan burukku membuatku muram dan takut menghadapi hari, melupakan roda yang berputar, dan terjebak di air yang tergenang. Aku memustahilkan kemungkinan atas perubahan, dan membunuh hidupku bersama sisa bahagia yang mengembun sia-sia.


Namun hari ini tidak, besok juga tidak, selamanya pun tidak! Tidak akan kembali melayarkan puing-puing harapanku melewati medan magnet yang sama, tidak sedikitpun. Tidak sama sekali. Tidak untuk selamanya!



 
© Copyright 2035 Scarlet Threads Me
Theme by Yusuf Fikri