Sabtu, 29 Oktober 2011

~***~
ZANTEDESCHIA
Karya
Raisadinda Pramesti
~***~

"Calla lily (zantedeschia)--bunga lili putih"

Sejak diagnosis penyakit menjangkiti tubuh mungil Calla, dua bulan yang begitu singkat dan terasa tak pernah cukup untuk membuatnya siap. Sekali pun waktunya yang tak lebih dari sekali debur ombak dihabiskannya untuk mengasing dari segalanya yang bernyawa, apa yang beruntung di dunia, mereka yang punya mimpi dan harapan—tentu saja masa depan, mungkin tetap tak ada kesempatan melupakan tawaran hidup. Bernafas dengan sisa-sisa keberanian untuk bertahan. Tapi, bertahan macam apa yang mungkin disanggupinya? Tidak benar-benar bisa disebut bertahan, hanya.. merasakan waktu, yang jelas membuatnya semakin merutuki masa lalu. Kebisuannya tak bisa disalahkan. Telak. Bukan berarti orang-orang begitu saja maklum, karena jelas perkara ini memutar balikkan fakta. Mungkin saja, menyendiri bukan satu-satunya solusi yang bisa ditimbang, atau datang serta merta menutup kemungkinan lain yang memang tidak mengubah keadaan, setidaknya tidak ada potensi lebih buruk. Jelas lebih tidak mungkin jika cara ini menjadi pilihan pertama Calla di balik selaksa imajinasinya yang tak ubahnya warna tumpah dalam semburat senja. Bukan caranya. Ternyata, beban batin ini jauh lebih tidak dapat diduga bahkan tak memiliki bayangan. Terdesak lumbung udara yang gelap tapi membentuk warna-warna, maya. Ya, warna-warna—hitam mengabu-abu—yang bahkan tak terlalu bertahan dalam penjara yang dibuatnya sendiri, tak berhasil bangkit dalam dunia yang mengadakannya. Dan bukankah dia ada, tapi mengartikan makna tanpa terjemah? Tak terjangkau.
Lagi, suara parau terisak yang tak pernah menjadi bagian keputusan Calla—secara sengaja—terdengar bertahan dalam gelombangnya. Seperti karang yang ditakdirkan untuk ombak. Dan suara itu, mengucapkan lantunan kalimat yang begitu klasik. Dengan generasi waktu yang berbeda, situasi yang seharusnya sudah lama terbaca dan jelas segalanya telah berubah, lantunan kata itu tak bermaksud terganti. Itu masih sama—dialognya, nadanya, intonasinya—yang membuat Calla tertegun setiap merasakan batas dengan suara itu, meski hanya hamparan kayu membilah pintu. Ia takut, masih ada yang bisa ia rindukan saat ia harus pergi nanti.
Mengapa kalian seperti itu? Mengapa kalian harus seperti itu? Bukankah banyak prioritas yang kalian miliki? Tapi mengapa harus begini?
Bukannya tidak mungkin kembali dan menikmati yang berhak menjadi miliknya meski sesaat, namun konsekuensi berikutnya yang bisa jadi tidak mungkin sanggup ditanggungnya. Sejauh ini, hanya segelintir hal yang berlalu sewajarnya. Calla menangis, bukan untuk penyakit ini—toh, air mata bukan sejenis obat—tapi untuk setiap bulir warna terumbu yang melukis dasar samudera, kebahagiaan. Normal, karena ia bisa merasakan apa yang semestinya dirasakannya. Menangis.
Calla melangkah ke sudut balkon dan mengenang, sesekali tatapannya jatuh pada hamparan kanvas yang bercoreng cat, menggubah kisah bentangan padang lili putih—zantedeschia—waktu senja. Dan, apapun impian yang terpaut bersamanya, tak sepenuhnya berarti saat senja semakin jelas berpisah. Ketika kedamaian langit guncang dan sewaktu-waktu menimpa zaman, bahkan sebelum impian itu menjelang, harapan sudah bertumpu penyerahan. Tapi itu hanya angan yang ditolaknya, hingga saat ini. Saat di mana Calla tidak akan terbunuh oleh penyakit, namun oleh mimpi dan harapannya selama ini—menyematkan senyum dalam kedamaian kecil zantedeschia-nya.
Diagnosis leukemia lymphoblastic-nya tidak seburuk kenyataan lain yang seolah belum puas dengan serangan takdir yang seharusnya cukup mematahkan tulang juang Calla. Canna, sahabat kecil Calla, yang menghabiskan nyaris sepenuhnya umur mereka untuk mengenal dunia bersama, menerjemahkan bahasa alam yang penuh makna cita dan kehidupan—membuat mereka merasa beruntung dengan masa depan yang mereka perjuangkan. Ia terserang sindroma caplan—penyakit sejenis paru-paru hitam akibat paparan debu batu bara dalam jangka waktu cukup lama—di mana penyakit tersebut belum ditentukan metode penyembuhan total.
Dua hari yang lalu, Calla tahu ia kehilangan sahabat terbaiknya, tidak sekedar untuk senyampang waktu, dan dia lebih merasa kehilangan jiwa terhadap kenyataan ini. Ia juga tahu orang tua Canna depresi dan bagaimana tidak? Melepaskan gadis penuh teguran jiwa, kebeningan batin, dan filosof makna yang familier dimengerti namun sarat kebenaran bukan setaranya sehembusan angin semata. Di sisi lain dukanya, Calla menemukan senyumnya—miris. Teringat persis ucapan Canna ketika kehilangan kakaknya beberapa tahun lalu,
Mereka yang menghilang, tak memiliki batas di antara kita. Semudah hidup menyusul mereka yang tiada. Meski yang tiada memiliki lika-likunya sendiri nanti, keabadian yang sebenarnya hanya satu. Sepedih mereka yang pergi dan tak kembali, dan kelak bertemu tapi tak mengenali. Sesederhana itu. Antara hidup dan mati.
Calla tak bisa berbohong, membohongi dirinya pun ia tak memiliki alasan. Ia memang bisa sedikit menakar, sisa masa yang tersisih untuknya—paling tidak, bukan waktu yang bisa membuat siapa pun tidur dan bermimpi. Namun setelahnya—setelah Canna memandangnya penuh tanya di keabadian—bukan keinginannya mempersulit yang rumit, bukan berharap segera mengakhiri yang disebutnya rumit, tapi bukan berarti mudah menentukan manfaat atas semua hal rumit ini. Karena sedikit pun, manfaat tidak tampak berguna.
Beberapa hari kemudian, Calla muncul di ambang pintu rumahnya. Sikap sederhana itu tetap membuat respon tak terencana bagi orang-orang yang menunggunya. Ibunya menangis, ayahnya tersenyum sarat kejujuran, dan Bela, sahabat sekaligus tetangganya, langsung menghabiskan Minggu paginya untuk mendengar suara yang telah lama tenggelam bersama malam.
“Kamu tahu apa yang selama ini aku pikirkan, Bel?” tanya Calla tiba-tiba, sesaat setelah begitu hening karena Bela kehabisan bahan cerita.
“Mm, kamu.. kecewa?” Bela mencoba menebak meski langsung mendapat penolakan dari sorot kegelapan mata Calla. Tapi Calla tidak sepenuhnya membantah, mau tidak mau ia pasti tampak mengaku. Matanya menolak tapi hatinya terabrasi bersama sisa minggu yang terhabisi. Kecewa, sedih, menjadi prioritas orang-orang untuk memandangnya, tetap, meski ia berusaha lebih tegar dari yang seharusnya.
“Kecewa? Untuk? Aku tidak memiliki lebih kuat alasan untuk itu, meski bagaimanapun kebohongan tidak pernah bertahan, kan? Tapi bukan, bukan itu yang kumaksud,” ucap Calla tanpa melewatkan sepatah kata pun dari seringainya. Tetap terkesan, pahit.
“Jadi?” Bela tidak bermaksud mendesak, tapi ia hanya ingin sahabatnya itu memiliki tempat di mana ia dimengerti, selagi Bela berusaha.
“Kamu tahu dan aku yakin pasti tahu tentang leukemia. Apalagi yang minat bacanya bisa dibilang over dosis sepertimu, aku tidak bisa menduga jika ‘tidak’,” jawab Calla, memandang ke depan penuh terawang, seperti udara merupakan zat pekat dan yang terbentang selain itu mengebas. Masih tersenyum, tak menyisakan tenaga di dalamnya, tapi cukup membuat Bela menabur makna bahwa kecewa tidak seberat apa yang ingin disampaikannya.
“Novel, cerpen, segalanya berbau fiksi, karya-karya menjelma melankolis dengan mengusung penyakit ini sebagai konflik. Klasik. Begitu-begitu saja. Tokoh mati karena leukemia tidak ada metode penyembuhannya dan menganggap waktu singkat itu benar-benar nyata di depan mata. Padahal, apa bedanya aku dan kamu?” lanjut Calla, sesekali mengerling ke arah Bela yang terduduk bisu di sisinya. “Apa bedanya aku dan kamu? Aku sakit, kamu sehat? Itu saja? Setidak adil itukah dunia dan kehidupannya?”
“Maksud kamu apa sih, La? Aku mulai vertigo nih, hanya memahami omonganmu aja,” kata Bela lagaknya bercanda. Tapi, Calla sedikit pun tak lekang dari raut datarnya.
“Aku dan kamu, berada, bertahan, bernafas di ranjau waktu yang serupa, semasa. Apakah cukup dengan penderitaan ini, aku dan kamu dibedakan.. oleh nasib? Apakah sesederhana itu mereka memandang, bahwa nasib di bawah ambang takdir? Lupakah mereka, bahwa nasib bisa kurangkum lagi?” jawab Calla, tidak bermaksud mengubah pola kalimatnya terlalu gamblang namun beberapa detil topik seharusnya bisa ditebak.
“Jadi, apa masalahmu?” Bela bisa menerima. Ia mengerti bagaimana situasi Calla yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Penuh canda tawa, ceria, dan riang harus terbayar dengan menjadi salah satu dari kelompok mereka yang menyesali hidup.
“Orang tuaku tidak cukup mampu menanggung konflik batin mereka, teman-teman tidak bisa berhenti menatapku dengan ratapan kasihan. Aku tahu segalanya telah berubah, dan inilah yang membuatku takut kembali. Takut tidak siap menghadapi sekarang.”
“Kamu tahu mengapa karang diciptakan? Mengapa ia terhampar di samudera? Dan mengapa ia hancur?” tanya Bela tiba-tiba dan sama sekali terdengar seolah mengalihkan pembicaraan. Calla mengikuti arus ini.
“Kamu tahu?” Calla balas bertanya.
“Tentu.” Bela menyeringai, tampak tegar di balik bulir air yang menggenang di tepi kelopak matanya, seperti perisai kaca melingkupi bola mata beningnya. “Karang diciptakan tidak semata-mata karena takdir. Ia ada karena apa yang seharusnya ia abdikan di muka bumi.”
Calla melihat permainan warna di mata Bela, seperti ngarai yang menyimpan nebula dan pelangi. Terpaan cahaya membias tipis, seolah terlukis halus di matanya, membuat Calla sesaat terkesiap namun seketika tersadar senja telah tiba, mengusung warna-warnanya yang tak bisa bersama. Juga menampilkan pemandangan sejuta kenangan oleh alam yang diubahnya, begitu damai.
“Karang tercipta dalam warna-warnya yang bangkit dengan hidup bersama samudera. Ia membiarkan keberadaannya melindungi ombak dalam keseimbangan. Membiarkan ombak itu jatuh ke pangkuannya yang tak selalu siap menerima keangkuhan yang berlebih-lebihan. Bahkan rela sesaat tenggelam dan menunggu ombak memberinya kesempatan lain, meski tetap ada saat ia harus gagal. Membiarkan tubuhnya memutih, seiring masa perjuangannya berkerumun dalam garam. Lapuk perlahan dan hancur puas tanpa menyisakan serpihan yang tak terelakan,” lanjut Bela yang kini menatap Calla lebih dalam, memaknai kata-kata dalam gambaran yang diusahakannya tersirat dalam gurat bahasa. Hanya ingin membiarkan Calla menerima jika ia tenggelam namun tetap muncul dan pergi tanpa pupus asa.
~***~
Calla nyaris melupakan sakitnya yang mengkonversi hati dan pikirannya berbulan-bulan sebelum ini—sebelum ia memilih berdiri sebagai anak normal dan memiliki harapan dan mimpi, selalu yakin akan pemandangan senja esok hari dan hangat bumi masa depan. Bahkan vonis usia bertahannya hingga dua belas tahun terpatahkan. Setiap orang melihatnya, bangkit dari ranjang dan melompat dari anak tangga ke empat paling bawah menuju dasar dan melesat ke dapur, membantu ibunya merias meja makan dengan hidangan yang beraneka aroma, tak luput dari daya minat Calla. Setiap orang melihatnya, menembus usia ke-15 tahun tanpa pengaruh pucat pasi di wajahnya, aura usang tubuhnya sama sekali mati.
Pagi itu, ia dan ayahnya berkunjung ke panti asuhan—ayah Calla bekerja di lembaga sosial yang menyantuni anak yatim piatu—untuk menyampaikan dana bantuan hasil penggalangan sejak empat bulan yang lalu. Ketika ayahnya memasuki sebuah ruang tamu kecil di blok paling depan, entah mengapa Calla tidak berminat ikut masuk. Mungkin karena pembicaraan yang dapat diperkirakan tidak mencapai pemahamannya atau intuisi.
Ia berkeliling di sekitar komplek panti asuhan hingga tiba di sebuah kebun sempit di blok paling belakang. Bunga beraneka ragam dan harum yang menyeruak setiap partikel udara menggubah suasana yang terlampau tenang, hingga angin pun seolah efektif membuyarkan keheningan. Benar, intuisi. Begitu banyak bunga yang dibiarkan merasakan keagungan alam, namun zantedeschia seperti menemukan surga. Kicir air buatan menepi di sudut dan menyalurkan air ke pengairan kecil-kecilan yang terus bercabang menyambut nafas bunga-bunga yang tumbuh. Tak jauh dari semak belukar yang mengimbas aura liar, zantedeschia bangkit dari kerimbunan tanah, dan seketika itu semak belukar kehilangan kepedihan. Lalu berjarak beberapa meter dari hamparan zantedeschia itu…
Seorang anak laki-laki, mungkin kisaran usia sepuluh tahun, duduk berhadap-hadapan dengan kanvas coreng-moreng tak karuhan—seperti abstrak, abstrak yang tak teorisitis. Calla menghampirinya, mengambil kuas yang terkulai begitu saja di atas palet yang mulai belepotan warna gelap saja. Calla menyampurkan beberapa warna cerah tanpa berpaling untuk memastikan sepasang mata yang menatapnya, bingung. Lalu ia hanya mengalihkan pandangan pada kanvas putih tertebarkan gelap pekat itu dan menggores sedikit demi sedikit kuasnya membentuk torehan warna baru yang cemerlang dan tampak sigap sambil berkata,
“Begini cara melukisnya..”
Lalu anak itu berhenti menatapnya dan pandangannya melayang pada warna yang seketika menutup kekelaman yang terbesit beberapa saat tadi. Membuatnya sedetik melongo, karena semudah itu Calla mengubah pemandangan menjadi stepa dan kebun-kebun zantedeschia padahal ia hampir berjam-jam tak mengubah posisi, terus berkutat pada palet untuk melebur hitam.
“Hitam kadang kelihatan tidak terkalahkan. Tapi di sini kamu menuangkan apa yang sempat kamu pikirkan, bukan sesederhana mencampur warna untuk sebentang lukisan. Tidak seperti matematika yang jelas memiliki kunci jawaban pasti dan selalu telak, atau ilmu alam yang di mana saja kamu dapatkan jawaban. Tapi seni, kamu mendapat jawaban hanya di hati,” kata Calla kemudian.
“Hitam bukan lawan yang mudah dicarikan setimpalannya. Ia harus ditumbuk berulang kali dengan inisiatif yang berganti-ganti namun dengan satu fokus yang konsisten, sehingga warna yang kau tuju itu bangkit dan hitam itu akan tenggelam. Memang, seolah semua warna di bawah kuasanya. Tapi, tidak demikian,” lanjut Calla kemudian meneruskan melukis hingga lebih dari separuh kanvas  mulai terisi sketsa.
“Tapi kamu harus punya strategi. Jika kamu tidak bisa mengalahkan hitam di medannya, lemahkan dia dengan kekuatanmu yang lain. Kamu tahu? Di sini kamu akan paham, jika kamu memiliki tekad lebih dari apa yang sebenarnya mungkin, kamu tidak akan menyangka kekuatanmu yang sebenarnya.” Calla pun selesai membuat sketsa lalu berdiri dan berniat beranjak, namun sebelumnya ia menepuk puncak bahu anak itu dan berkata, “kalau kamu mencampurnya di palet bersama segerombol hitam itu, mana bisa berubah warna? Bisa sih, tapi lama! Jadi kamu cuci dulu kuasnya lalu tutup warna yang salah di atas kanvasnya, di palet bukan untuk menutup warna, hanya untuk mencampur.”
Calla melangkah dalam derap langkah setimbang, tanpa mengurai senyum yang bertambatan di antara pipinya. Lalu tiba-tiba suara menyusulnya, riang di belakang, membuatnya kontan menghentikan langkah dan berbalik.
“Kak, besok datang dan melukis lagi ya!” kata anak laki-laki itu antusias, membiarkan binar matanya membuktikan kata hati.
“Oke!”
Pesan-pesan Calla dalam berbagai potongan—potongan waktu, situasi, dan keadaan—bak kerikil yang menggumpal menjadi batu besar yang dari masa ke masa semakin kokoh. Tak tertangguhkan masa lalu yang petang dalam keterpurukan. Tapi setiap senja punya malam, dan ketika malam tiba, setiap orang mengenangkan yang terjadi kala siang. Calla pergi bukan karena kesempatan bertahan melawan penyakitnya habis, namun akibat kecelakaan sepulang dari panti asuhan yang menyebabkan mobilnya oleng hebat dan ayahnya menanggung luka bakar. Tapi ia tak pernah percaya pada akhir kesempatan. Setiap kesempatan memiliki ujung pada takdir, kecuali tanpa perlawanan terhadap batas pertahanan. Paling tidak, ia tidak mengurung usia dalam vonis kosong yang mereka anggap seolah kepastian dan membuktikan bahwa tak ada yang salah dari takdir. Bahwa, leukemia tak pernah berniat membasminya atau siapa pun yang pernah mati karenanya, tapi harapan patah dan mimpi yang tertidur adalah kematian yang menyusul mereka, bahkan sebelum mati—dengan esensi nyata—dan bahagia dengan hidup yang tak bernyawa.

0 komentar:

Posting Komentar

Thank's.. Leave another comment :)

 
© Copyright 2035 Scarlet Threads Me
Theme by Yusuf Fikri