Sabtu, 09 Maret 2013

That Shadow Seems Too Clear


“Aku bukanlah orang yang tidak tahu-menahu mengenai dirimu.
Aku tak perlu menemukan alasan, sehingga mengenalmu itu mudah.
Karena, aku cukup memberimu pembuktian, bahwa kau sendiri yakin
untuk berlari ke arahku ketika kau membutuhkan.
Aku memang tahu-menahu, namun bukan berarti aku pandai
menebakmu.
Aku bisa membaca bias matamu, tapi aku tak mengerti
mengapa ia di situ?
Malah memperindahmu, yang ternyata harus menjauh...”
Beberapa bulan yang lalu. Dini hari, Tsania harus terjaga karena suara guntur yang menggetarkan jendela dan dinding kamarnya. Juga, memekakan telinga. Hujan lebat sedang menembus keheningan malam yang disukainya, membuat Tsania harus mati-matian mengembalikan waktu-waktu tenangnya yang langka. Sambil berusaha memejamkan mata—berharap ia tak pernah mendengar geletar atap yang melawan air—ponselnya berdering pendek, sia-sia lagi.
‘Pasti kebangun?’ terangkai pertanyaan singkat di layar, begitu singkat—dan tak seberapa penting—sehingga seharusnya Tsania tak perlu merepotkan diri menggubris pesan itu. Seharusnya. Jika saja bukan Wildan.
‘Dasar! Spying!’ jemari Nia mengetikkan sepasang kata, mengirim pesan itu, kemudian terhenti di atas keypad ponselnya. Pandangannya enggan beringsut meninggalkan layar, masih di sana bersama seukir senyum di wajahnya.
Nia benar-benar telah menemukan cara menulikan telinga dari hentakan air hujan yang menghujam seisi bumi.
Spying? Enak aja. Kamu nggak jauh beda dari aku. Lupa? Hahaha.’
~***~

 

 
Entah mengapa segala bentuk carut-marut di hadapanku kini semakin jelas. Nia. Dia tiba-tiba memudar, seperti terus menghambur, menghampiri bayang-bayang yang tak tersentuh. Sedangkan aku, masih di setapak yang sama, mencoba memahaminya bahkan aku berharap mampu menebaknya. Mungkin dengan begitu, segalanya akan jadi lebih mudah.
            Mengapa tidak aku beranjak untuk kesempatan atau kepastian lain yang sebenarnya sedari dulu mungkin saja menjadi milikku?
Tidak. Aku mungkin tidak lagi memiliki kesempatan atau tidak lagi pantas mengharapkan yang-selama-ini-kuharapkan-darinya. Aku mungkin juga sangat payah dalam hal memahaminya, aku selalu mengeluh apakah perempuan memang se-moody itu sehingga ketika nyaris aku mencapai arahnya, mereka berharap untuk berbalik arah. Kuakui, aku tidak bisa—dengan baik—memahaminya. Namun, untuk itulah aku akan tetap di sini, selalu berusaha memahaminya.
Lalu hujan pagi ini, menghempas akalku jauh-jauh, membuatku kembali menginginkan Nia memberiku jawaban. Air hujan melebur debu daratan—dan juga debu kenangan—mengimbaskan kepulan uap meronta dari muka tanah. Segala yang ringan telah menguap, sedangkan yang pekat masih mengendap. Dan, bayangan Nia adalah kepudaran terjelas yang tersisa, di benakku.
~***~
“Wil! Curang kamu! Kok nggak bilang kalau pagi ini ulangan harian matematika?” racau Nia seketika mendapati wajahku melintasi pintu kelas, kedua alis tipisnya jelas nyaris berhimpit dan itu cukup menggentarkanku.
“Aku juga baru tahu pagi ini, Tsania. Itu juga dari twitter,” bantahku sambil meletakkan tas—agak menghempas—ke bangku di sebelah Nia yang masih berdiri ketus, masih memindai kesalahan dari ujung rambut hingga ujung kakiku.
Aku tidak menggubrisnya jika masih ingin mengomel, langsung kubuka sebuah buku catatan yang setiap lembar isinya begitu coreng-moreng oleh tulisan tanganku yang ternyata memang tak terlalu nyaman dilihat—aku tak akan pernah memaksa seseorang membacanya. Namun tampaknya itu membuatnya semakin kesal.
Nggak beri kabar tentang ulangan, nggak belajar!” ujarnya sambil merampas buku catatan dari hadapanku, membuka-bukanya sambil berjalan pergi.
Aku hanya mendengus sambil perlahan menyandarkan punggungku di sandaran bangku, mengamati Nia yang beberapa detik kemudian membalik badan dan mempercepat langkah menghampiriku.
hati
 
“Ini. Kenapa justru membaca catatan seperti itu?”
“Kamu berharap aku membaca catatan seperti apa? Kau tidak mengizinkanku belajar, sejak awal tidak ada yang akan belajar,” jawabku sambil menyeringai penuh kemenangan ke arahnya. “Aku harus merekap iuran baju panitia segera.”
Nia memberengut lalu pancaran matanya berangsur-angsur menjadi sayu. Ia duduk di bangku sebelahku lalu menelungkupkan kepalanya di atas meja di balik lipatan kedua tangannya.
“Aduh, gimana ini? Aku belum siap apapun untuk ulangan. Aku nggak paham apapun,” keluhnya dalam suara parau khasnya ingin menangis, namun kupikir itu karena nafasnya yang terkepung lengan-lengannya.
“Sudah kuduga karena itu,” sahutku tanpa mengalihkan pandangan dari angka-angka nominal pada lembaran putih di hadapanku. “Sudah kuduga. Aku tidak perlu menanyakan, mengapa kau terus saja melipat wajahmu seperti itu.”
“Dasar kau!” ujarnya sambil meraih bukunya dari meja dan memukulkannya perlahan ke pundakku.
Tiba-tiba gurauan kami terhenti melihat seorang anak yang tampilannya begitu asing. Aku pikir, mungkin itu hanya Hani yang memang menggemari aksesoris eksentrik dan hari ini adalah fase kronisnya. Namun ternyata, wajah di balik kacamata hitam itu menunjukkan orang yang berbeda. Meskipun eksentrik, namun masih cenderung lebih sederhana dari Hani. Mungkin kesan itu terbawa oleh rambut hitam kecokelatan, gelang dan jam tangan  yang dirantaikan di satu pergelangan tangan, dan kaos kaki tinggi warna thistle membebat telapak kakinya—tampilan yang membuatku berpikir bahwa gadis itu Hani.
Siapa dia? Kontan muncul pertanyaan terlebih pada diriku sendiri.
“Sepertinya dia anak baru yang kabarnya menjadi teman sekelas kita. Kalau nggak salah sih, namanya Adalia Lenata. Aku iri sama namanya,” terang Nia seolah pertanyaanku tadi tanpa kusadari telah terlontar dari mulutku. Atau memang sudah?
Setelah gadis yang isunya bernama Adalia tadi berlalu, keheningan mencekat seketika juga luntur, orang-orang telah kembali sadar akan kegiatan yang sebelumnya mereka sedang lakukan. Berlebihan memang. Namun begitulah reaksi setiap orang saat Adalia melintas tanpa sepatah teguran pun, seolah koridor yang dilaluinya merupakan jalur eksklusif baginya sendiri.

 
“Apa gadis itu sombong?” tanyaku pada Nia yang sudah kembali menelungkupkan kepalanya di balik kedua lengannya, membuatku seketika mendengus.
“Wildan!” sahut seseorang dari pintu, kontan aku menoleh lalu mendapati Fano berdiri di ambangnya. “Mas Raihan tanya tuh masalah rekapitulasi iuran.”
“Oh iya, di mana Mas Raihan?” tanyaku sambil menyelesaikan sisa-sisa data yang juga harus direkap lalu segera membereskan segala bentuk lembaran kuitansi yang tertumpuk di meja.
“Di Matematika 1, buruan ke sana deh!”
“Oke, makasih ya Fan!” sahutku sambil memperlebar langkah meninggalkan ruang kelas.
Aku merasakan ponsel di sakuku bergetar tiada jeda, namun aku tidak bisa menunda langkah untuk mengecek kepentingan macam apa yang sedang merecoki ponselku. Toh, kemungkinan besar hanya Mas Raihan yang kukuh menghubungiku pagi begini.
Aduh.
Eh maaf, aku nggak sengaja. Maaf ya,” ujar seseorang di sebelahku, tiba-tiba tangannya terulur memunguti kuitansi yang berceceran. Adalia.
“Maaf banget. Maaf kalau kamu juga sedang buru-buru, jadi harus ngulur-ulur waktu,” gadis itu tidak berhenti mengucapkan maaf, lagi-lagi seolah berpikir hanya ada dia di tempat itu. Sehingga hanya dia juga yang bisa disalahkan.
“Sudahlah. Aku nggak masalah, kok. Terima kasih udah merapikan selebaran kuitansi yang kecil-kecil ini. Kamu Adalia, kan? Salam kenal. Duluan, ya!” ujarku berusaha membuatnya tidak lagi mempermasalahkan kejadian ceroboh tadi. Tidak juga dengan menyalahkan diriku, karena meski mungkin ada benarnya, namun sepertinya gadis itu sulit menemukan sisi lain daripada miliknya sendiri. Bisa-bisa dia semakin menyalahkan dirinya.
Ah, terserahlah. Yang terpenting sekarang, mengantarkan setumpuk ‘makan malam’ ini pada Mas Raihan.
“Sudah selesai semua kan, Wil?” tanya Mas Raihan telak di ambang pintu ruang kelasnya, seperti sudah terprogram apabila menemuiku bersama buku gelatik bertumpukkan lembaran-lembaran lain yang lebih kecil.
“Sudah, Mas,” jawabku yakin, bukankah itu jawaban yang telah lama Mas Raihan—dan aku sendiri—ingin dengar? Aku pun selalu berharap bisa segera mengatakannya.
~***~
Nia sakit. Ternyata, ketika pagi itu ia terus menerus menelungkupkan kepala dalam hening, ia bahkan lebih dari sekedar pening memikirkan ulangan matematika yang begitu dibencinya. Sekembalinya dari menemui Mas Raihan, bangku di sebelahku telah terisi orang yang berbeda lalu mendengar bahwa asma Nia kambuh membuatku merasa bodoh. Bagaimana bisa aku mudah saja menebak dirinya yang selama ini selalu gagal kutebak? Mungkin aku yang selalu gagal, atau Nia yang bersikeras menyimpan segalanya dengan rapi. Begitu juga dengan betapa tak terduga dirinya yang berjuang menghela nafas, bahkan mungkin sejak dia tidak membantah apapun saat aku menduga dirinya sedang panik akibat ulangan harian. Kegagalan yang ke berapa kalinya ini?
Lalu di bangku yang ditinggalkan itu, duduk Adalia yang tampak terkejut melihatku memasuki ruang kelas lalu meringsut ke bangku di sebelahnya. Seandainya ekspresi Nia juga semudah ini diperkirakan.
“Hai, kita ketemu lagi dan nggak menyangka ternyata kita satu kelas,”gadis itu tak segan mengulurkan tangan lazimnya seorang yang memperkenalkan diri. Namun sebenarnya aku menolak kata ‘nggak menyangka’, sebab aku sudah mengetahui ini sebelumnya, dari Nia.
“Aku Wildan,” sahutku sambil meraih uluran tangannya, formalitas.
“Adalia Lenata. Panggil saja, Lena,” ujarnya sambil tersenyum simpul, kemudian berpaling pada novel dalam genggamannya.
Aku baru menyadari maksud senyum Lena yang terkesan bukan sekedar beramah-tamah. Sejak awal bertemu gadis itu, aku terus-menerus memanggilnya ‘Adalia’ dan baru saja ia membenarkan nama panggilannya menjadi ‘Lena’. Kebanyakan orang memang merasa lucu ketika orang lain memilih nama panggilan yang bisa dibilang tanggung ketika diucapkan.
Siang ini akan ada pertandingan futsal, namun aku terpaksa izin karena keharusan bagiku sendiri untuk menjenguk Nia tidak bisa berhenti berdengung di benakku. Awalnya tiada masalah meskipun harus bertanding tanpa cadangan. Tetapi, tiba-tiba Rendi menghambur ke tengah-tengah tim kelasnya yang sedang melakukan pemanasan sebelum pertandingan dua menit lagi.
“Ren, buruan pemanasan! Kamu itu ngapain?” suruh Fariz yang terkesiap mendapati Rendi bahkan belum mengenakan kaos tim, matanya tajam menyala seharusnya tidak membebaskan Rendi dari perintahnya.
“Riz, aku nggak bisa ikut bertanding!” kata Rendi kontan membuat seluruh anggota tim yang sedang pemanasan menoleh ke arahnya, diam. Mereka tahu, Rendi akan memberi penjelasan meski dua menit bukanlah durasi yang pantas dibuang-buang untuk sekedar tahu mengapa salah satu pemainnya ini tiba-tiba berubah pikiran. “A-aku. Aku harus menjemput orang tuaku dari bandara, mereka pulang lebih cepat dan baru saja menghubungiku.”
“Kita nggak punya cadangan, woy! Kamu nggak tanding, berarti semua nggak bisa tanding! Kamu ngerti nggak, sih?” Indra telak tak mampu menguasai emosinya, ini hal yang sudah biasa.
“Kalau kamu bisa membicarakannya dengan Wildan, kamu bisa pergi. Satu menit,” ujar Fariz tenang, meski ia tidak sepenuhnya menganggap semua akan baik. Seperti setiap orang yang lain, masing-masing selalu tidak terduga. Paling tidak, ia tak pernah ingin sulutan api ini terbakar, seolah memang tugasnya.
Aku baru saja hendak melajukan motorku bebas ke jalanan ketika tiba-tiba suara derap kaki diiringi sahutan seseorang dari kejauhan semakin terdengar jelas.
“Wildan!! Tunggu, Wil!” teriak orang itu dan ketika kubuka penutup helm di depan wajahku, baru kusadari Rendi terengah-engah menghampiriku dari gerbang dalam.
“Ada apa, Ren? Bukannya sebentar lagi pertandingan mulai, kok kamu justru ke sini?” tanyaku dengan pikiran yang terpilah-pilah—bagaimana keadaan Nia? Bagaimana pertandingannya?—,sangat memusingkan.
“Aku harus pergi secepatnya, Wil. Tolong, kamu harus main di pertandingan gantiin aku! Satu menit lagi, Wil. Udah nggak ada waktu,” terangnya sehingga sekesiap aku menghambur ke lapangan tempat pertandingan berlangsung. Menyambar sisa kaos tim yang tergantung di ruang ganti, mengenakannya, dan segera menempati formasi kosong di lapangan. Nia, maaf aku belum bisa menjenguk siang ini.
~***~
Aku merasa ingin meminta maaf kepada semua orang, harus. Sepertinya Nia salah paham atas beberapa hal, namun aku tidak menemukan kesempatan untuk meluruskan setiap kekusutan ini. Seandainya aku bisa membuat kesempatan, sebelum kesempatan yang kupilih adalah kesalahan. Maka, anggap saja aku tak punya pilihan! Kalaupun ada, itulah satu-satunya yang tak berhak kuambil. Terlalu banyak yang selama ini menjadi sia-sia.

 
Beberapa hari yang lalu, Lena mengatakan bahwa ia menyukaiku sejak kali pertama kami bertemu. Aku tidak mengerti apapun tentang rasa suka yang seperti itu, bukan berarti Lena sedang membicarakan omongan kosong. Bukan. Hanya saja, selalu dalam diriku menganggap cinta pandangan pertama itu bullshit, bukankah dunia ini sempit? Suka itu tak akan sama dengan ketika menyukai seseorang yang sudah begitu dikenal. Aku telah menyukai seseorang, yang bukan sekedar telah lama dekat atau kukenal. Ia seperti tetesan embun dari pucuk daun—bulir-bulir kehidupan yang membiaskan cahaya. Pengaruh terindah.
Namun Rendi diam-diam menipuku, semua orang, dan dirinya sendiri. Ia mendustakan perasaan sukanya pada Nia, lalu meninggalkan pertandingan futsal dan pergi menemui Nia. Entah sejak kapan mereka ternyata cukup dekat hingga Rendi berani menyatakan suka pada Nia yang tidak menjawab tidak. Namun, aku berharap ia tak akan pernah mengatakan iya. Mungkin terlalu banyak hal yang tidak kuketahui—atau hal yang aku lebih suka untuk tidak mengetahuinya. Tetapi apakah tidak ada segelintir pun sesuatu yang bisa diandalkan? Yang tersisa, aku hanya tahu, aku masih tidak mampu menebakmu.
Sepertinya bulan ini akan menjadi bulan bercurah hujan terberat dalam setahun. Sangat terlambat, mengingat kini telah menjejaki Maret yang rutinitasnya mulai membagi-bagi kehangatan sinar matahari. Atau mungkin kebetulan sore ini saja? Hujan hanya bermaksud menyambut isi hatiku, begitukah? Namun aku tak akan bisa sekedar mencapai pagar sekolah tanpa terguyur habis-habisan, jika hujan bersikeras mengepung setiap sudut daratan.
“Mengapa kau masih diam di sini?” tanya Lena yang entah-sejak-kapan ia mulai duduk di sebelahku.
“Kamu pikir dengan hujan seperti ini, masih mungkin?” jawabku ketus tanpa memalingkan pandangan padanya.
“Bukan. Mengapa kau masih diam di sini? Kau masih terus begitu, padahal situasinya akan terus berubah. Kau mengandalkan keberuntungan segalanya akan membaik, atau pasrah karena kau tahu semua akan semakin buruk?”
Kali ini dia berhasil mengalihkan pandanganku, tatapanku jatuh tepat ke kedua mata yang menerawang jauh seolah ia tak harus menyalahkan hujan deras yang mengaburkan segala hal dalam pandangan.
“Kau tahu Rendi menunggu Nia, kau tahu dia tidak terlihat seperti orang yang menyerah begitu saja. Kau tahu Nia sebenarnya menyukaimu, dan kau tahu mengapa ia menjauh. Kau tahu banyak hal yang tak kau akui ada dalam dirimu. Mengapa kau berhenti?” lanjutnya seakan ia mahir menerjemahkan keheninganku, aku tak mengerti yang ia ucapkan. Maksudku, mengapa ia mengatakan ini?
“Apa maksudmu? Jangan berperilaku seperti kau mengetahui apapun!”
“Aku tidak mengetahui apapun. Namun melihat dirimu sekarang, paling tidak aku tahu lebih banyak daripada dirimu sendiri!” jawabnya seketika kedua matanya menantangku, segala kekosongan yang baru saja tampak mengapung dalam pandangannya hanyut.
“Kau menyukai Nia, lalu katakanlah! Kau tidak bisa terus-menerus membiarkan dunia bergerak sendiri. Hidup ini bisa saja membawa Nia ke sudut bumi yang tak akan kau temui. Buatlah keputusan!” lanjutnya, bola matanya terlihat lebih jernih namun bergetar. Lena menangis.
“Apa yang membuatmu merasa kau mampu mengatur perasaanku?” tanyaku datar tetapi aku tak ingin pembicaraan ini begitu saja berakhir. Tak perlu diragukan, Lena tahu tentang Nia. Ia tahu yang perlu kuketahui.
Ia tersenyum getir ke arahku lalu menyapukan pandangan ke tanah, rapi di antara tundukan dalamnya.
“Mengapa aku harus mengatur perasaanmu, jika perasaan itu telah ada di hatimu? Lagi pula, kau pikir siapa yang bisa mengatur perasaanmu, bahkan kau sendiri tak akan mungkin?”
Ia mendenguskan sehela nafas sambil melembutkan nada suaranya. Tak seperti yang sudah terjadi, kali ini Lena mengisyaratkan segala ekspresi menjadi kesatuan yang menjawab sebuah makna. Pedih. Entah apakah itu mengenai dirinya atau dia mencoba mengartikan situasi rumit ini sebagaimana ini terlihat, dan terasa.
“Ketika seseorang telah menyukai orang lain, maka ‘memilih’ hanyalah kesan yang kenyataannya tak pernah sempat dilakukan bahkan sebelum perasaan itu datang,” lanjutnya kemudian beranjak pergi, melangkahkan kakinya menembus rimba hujan.
Sesaat aku berdiri dan mencoba meraih pergelangan tangannya, tetapi..
“Aku baik-baik saja. Kau yang harus mulai memikirkan keadaanmu,” ucapnya sebelum aku sempat melarangnya nekad melawan derasnya hujan. Entah kebekuan macam apa yang memasung tubuhku bergeming, namun yang pasti kesan itu muncul seketika Lena menolak uluran tanganku. Pertolonganku. Beberapa saat yang lalu, ia membuktikan bahwa ia bisa melihat sisi lain di luar dirinya. Namun beberapa saat yang lalu juga, ia kembali menjadi dirinya yang melangkah sendiri.
~***~
Hari itu, aku memberanikan diri menemui Nia dan sungguh di luar dugaanku, dia menimpali setiap obrolan yang kulontarkan begitu saja seolah tak pernah ada cukup alasan untuk berubah. Tak pernah ada yang terjadi. Apakah ini bagian dari yang-tak-bisa-kutebak? Atau, melupakan yang selama ini terjadi memang mudah?
“Aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa, ketika seseorang telah menyukai orang lain, maka ‘memilih’ hanyalah kesan yang kenyataannya tak pernah sempat dilakukan bahkan sebelum perasaan itu datang—“ kataku sambil mengawasi ekspresi Nia dari ceruk mataku, namun dia terlalu tenang untuk memiliki ‘ekspresi’. Jangan lagi!
“—Dan, seharusnya aku tak merasakan ini jika aku tahu tidak ada pilihan. Namun, aku benci bahwa kenyataannya kau tidak bersamaku.”
“Tunggu. Maksudmu?” tanyanya, masih dalam ketenangan yang menggelayut di setiap sudut wajahnya.
“Aku tidak bisa memilih yang akan kusukai, demikian juga kau. Kita tidak bisa meminta apalagi membuang perasaan yang kita sendiri tak mengerti bagaimana bisa, mengapa, atau dari mana semua itu. Lalu, ketika aku tahu kau tidak bersamaku—“
“Aku tidak bersamamu?” kilahnya sambil menelengkan kepala, tampak jelas ia mengecam kalimat itu. “Aku tak mengerti persahabatan kita selama ini kau artikan sebagai hal seperti apa. Yang aku tahu, sepertinya aku hidup di dunia yang salah.”
“Ya, hidup dalam dunia yang tersaput ketakutanmu. Selagi aku tetap di sini, bisa jadi aku tidak terlihat lagi,” lanjutnya.
“Aku hanya ingin menyadari kenyataan—“
“—Tapi kau belum bisa juga?” selanya. “Kau hanya perlu melihat kebenarannya. Sebagian besar kenyataan ada bersamanya. Bukankah begitu pun cukup?”
“Jika aku tak pernah melihat kebenarannya? Semua terlalu tersimpan rapi.”
“Kau selalu melihatnya, tapi kau tak berani sedikit pun menebak. Kau takut kan, jika mereka tidak sesuai harapan?” jawabnya sambil melemparkan tatapan dingin padaku.
Kontan aku tak berani menatap kedua mata Nia yang tiba-tiba gelap dan beku. Bisakah sebuah palung terkubur di sana sekali waktu? Hingga untuk pertama kalinya, aku merasa sangat ingin melarikan diri, menghindari kedua mata gadis yang kukagumi.
“Aku tak menginginkan ini. Aku tidak menyukai Rendi, tapi aku tak menginginkan persahabatan di antara kami runtuh karena pernyataan sederhana. Begitu juga yang kuharapkan darimu,” terang Nia dengan suara yang terdengar sedikit parau.
“Mengapa kau mengharapkan itu? Jadi sebenarnya bagaimana dengan dirimu sendiri?” Aku meraih bahunya, mengapa ia di situ? Bias-bias tegar berpendar dari matanya. Malah memperindah dirinya.
“Aku juga tidak mengerti apapun tentang diriku sendiri!”
“Baiklah, aku mengerti. Maksudku, aku mencoba mengerti. Apakah ini pernyataan sederhana yang kau maksud?” Aku melepas cengkeramanku dari bahunya, ini bukan kesan yang kuciptakan. Bukan ujung yang kutuju. Aku tahu berat, mengapa menolak kebenaran?
“Bukan. Kau tidak paham!”
“Ya, aku memang tidak bisa memahamimu! Itulah yang membuatku masih di sini, untuk selalu berusaha memahamimu.”
~***~
Kini aku telah bersekolah di SMA yang lain, bahkan tidak lagi hidup di kota yang sama dengan di mana Nia tinggal. Aku dan keluargaku harus menerima kepindahan ini atas sebab yang telak memenangkan nyaris segala alasan. Aku tidak peduli cahaya baru apapun yang ditawarkan, bayangan yang mereka bentuk tidak akan cukup menimpa bayangan Nia, kepudaran terjelas yang tersisa. Aku masih punya waktu. Aku masih bisa menunggu.

0 komentar:

Posting Komentar

Thank's.. Leave another comment :)

 
© Copyright 2035 Scarlet Threads Me
Theme by Yusuf Fikri