Rabu, 01 Juni 2011

Frosty Frost on Summer Smile

Tundra, tak mengenal matahari.. Tak pernah sempat menyapa sinar. Dunianya bertabur embun beku. Benda-benda berdenting yang ringkih, lemah, tajam, dan dingin. Seperti dunia ketidakmanusiawian. Bayangan bagian bumi yang tak pernah terimbas nafas. Terpaan cahaya perak bulan adalah satu-satunya nyawa hingga hidupnya tampak tetap bermakna. Bayangan tipis cahaya bulan yang begitu mengartikan setiap kilau dan pendar dari dirinya. Unsur jati diri yang seolah memancar saat itu juga.

Hmm, padang rumput, dipagari beringin, pohon oak mengisi kerimbunan hutan, akasia menyelip pagar-pagar beringin. Di tengah padang rumput, laskar bunga menyentak harmoni dunia. Terlebih simbolisasi kehidupan di antaranya, bunga matahari.. Dikepung tebaran sinar matahari, lautan kehangatan.. Sumber nafas yang diimbas-imbaskan, kehidupan dunia yang paling hidup.

Namun harmoni terhadap dunianya masing-masing sempat terlanggar, saat kisah ini...dimulai


Yaaa, bulan adalah satu-satunya pengharapan embun beku, alasan *satu-satunya alasan* hingga ia masih ingin melanjutkan hidup. Tanpa cahaya bulan, ia hanyalah butiran hampa dalam kegelapan yang tak akan pernah memperoleh kasih sayang. Bulan pun menyadari hal itu, hingga ibanya pada embun beku tak bisa dipungkiri. Beberapa tahun berlalu, embun beku akhirnya menaruh permohonan lebih. Ia menginginkan bulan tak usah pergi, selamanya berada di atas tundra. Menawarkan keindahan aurora, tapi bulan menolak. Tidak mungkin. Tidak bisa. Ia harus berkeliling ke belahan bumi lain, berganti menjadi matahari atau kembali menjadi bulan. Mengetahui tugas bulan yang tak mungkin dilanggar itu, embun beku paham. Ia tak ingin menjadi sisi yang egois, menghancurkan dunia makhluk lain untuk hasratnya sendiri.

Nah,, saat bulan berputar hingga tiba di belahan bumi berpadang rumput, ia beralih menjadi matahari. Sebatang bunga matahari yang tersisih dari kerumunannya memandangi matahari penuh kagum. Wajahnya menengadah menantang pendaran sinar luar biasa siang hari. Ia setia mengikuti arah matahari. Namun hingga berapa lama, matahari tak pernah menyadari ketakjuban bunga matahari terhadapnya.

Setelah segalanya berlalu normal..

Matahari menyadari bunga matahari diam-diam mengaguminya. Baru kali ini, matahari merasa begitu berarti.. Merasa diperhatikan, tak hanya memperhatikan.. Merasa hidupnya lebih bermakna, berkesan.. Ia bahagia di padang rumput, bersama bunga matahari yang setia padanya, lalu menaburkan banyak cahaya untuk lebih banyak senyum dan tawa.. Akhirnya, ia di sana hingga beberapa lama.

Di belahan bumi sebaliknya,
tak ada bulan.. Bumi tiba-tiba memanas..
Malam hanya sekilas dan tetap tak ada sambutan bulan..
Tundra luluh, embun beku khawatir..
Di mana bulan? Apakah ia sudah melupakanku? Untuk selamanya??
Embun beku merasa diri dan hidupnya jauh lebih dingin dari sebelumnya.. hampa, getir..
Ia menangis, menangis rindu dan sedih..
Tubuhnya terkikis, luluh dari tangisnya sendiri..
Perlahan ia mencair, mengalir di balik kegelapan malam yang sunyi..
Hilang menjadi air yang sama sekali tak bermakna lagi..

Tiba..tiba..
Matahari teringat embun beku.. Benar saja, selama ini ia lupa.
Sudah berapa lama? Berapa lama aku di sini? Berapa lama tiada bulan??
Kontan ia pergi, beranjak menjadi bulan menuju belahan bumi sebaliknya.
Bunga matahari tercenung, ia panik sejenak namun kemudian ia paham..
Meski ia ragu, mengapa matahari lantas pergi seolah tiada siapa pun di sini??

Sampainya bulan di tundra..

Di mana? Di mana dia??
Tatapan bulan menyapu tundra, berusaha mendapati kilau atau pendaran yang biasanya langsung tampak seketika cahayanya jatuh menerpa tundra..
Namun tidak..
Segalanya sudah tenggelam, dalam kegelapan, dalam kesepian..
Ia sama sekali tidak menemukan kilau lain selain dirinya, cahaya lain selain darinya, pendaran lain selain ia..
Namun ia tidak langsung putus asa.. ia menunggu, menunggu, dan menunggu..
Dalam kurun waktu menunggunya, ia terus mencari kilau berlian yang senantiasa menyambutnya sejak dahulu itu..

Beberapa waktu pula,
bunga matahari menunggu kehadiran matahari..
Namun tidak..
Cahaya di langit redup.. hutan tampak gelap, temaram segalanya..
Bunga matahari kehilangan semangat hidup,
ia perlahan layu..layu.. dan tampak hanya sanggup menunduk dalam perenungannya..

Di belahan bumi lain, bulan sadar, ia telah kehilangan embun beku untuk selamanya..
Ia tahu berapa pun lamanya ia menunggu, embun beku tak akan kembali..
Ia tak akan lagi bertemu dengan benda malang kesepian itu lagi, tak akan lagi menemukan kilau berlian yang menyambut pendaran darinya lagi..
Ia sadar, tahu, paham.. Embun beku telah mencair dalam keheningan dunianya..
Maaf, aku bukan yang terbaik, bukan yang benar-benar ada saat harusnya aku sedia untukmu..


Tiba..tiba...
Ia teringat bunga matahari!
Berapa lama lagi?? Berapa lama aku meninggalkan bunga matahari???
Akhirnya ia bergegas ke padang rumput, sebelum segalanya jauh lebih terlambat..
Sesampainya di padang rumput, ia melihat kehidupan padang yang luluh, hamparan keputusasaan yang sempat memerangi *mungkin*..
Ia tak melihat wajah gembira yang selalu mengembang jauh dari kerumunan untuk menyambutnya..
Tapi..
Apa?
Ya, itu bunga matahari! Aku yakin!
Penuh derita putus asa, lemah, batangnya terkulai, mahkotanya limbung..
Matahari yakin ia belum mati..
Belum!
Lantas ia menebarkan lebih banyak sinar, pertanda kehidupan masih punya harapan..
Ia menebarkan lebih banyak kehangatan agar bunga matahari bangkit kembali..
Dan benar saja, bunga matahari kembali kuat menegapkan batangnya..
Menengadahkan mahkotanya menantang sinar luar biasa di angkasa..
Huh,, matahari lega. Ia belum kehilangan *untuk kedua kalinya*
Ya, akhirnya matahari berjanji, akan setia hanya pada satu sisi..
Menjaga keseimbangan hati, untuk hidup, kehidupan, dan bumi..
Tak akan membiarkan sesuatu memendam kehancuran untuk dirinya..
Membiarkan sesuatu hilang ditenggelamkan kepedihan *lagi..
Tak ingin meninggalkan hal berarti *lagi* untuk keabadian..

0 komentar:

Posting Komentar

Thank's.. Leave another comment :)

 
© Copyright 2035 Scarlet Threads Me
Theme by Yusuf Fikri