Sabtu, 11 Juni 2011

MELAYANG

Beberapa hari yang lalu, seseorang tenggelam di suatu...teluk yang.. mengesankan.
Ketenangan permukaan airnya memang ‘tak terduga’..
Bahkan ketenangannya mengesankan setiap makhluk membisu dalam belenggunya, kuasanya..
Sedangkan di belahan bumi yang berbeda.. makhluk lemah itu melayang di tengah mimpi-mimpinya..
Hampir! Satu asa di angkasa berpijar menyilaukan, terlalu menyilaukan hingga ‘buta’..
Kebutaan yang bukan ‘biasa’.. kebutaan yang terarah meski dunianya terintimidasi gemerlap cahaya..
Tapi siapa peduli? Bahkan, cahaya itu tidak.. Tidak berminat lagi membagi cahayanya untuk menyisakan segelintir penglihatan bagi makhluk lemah itu. Tidak sama sekali.

Pagi itu, memandangi hujan seperti satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. Tidak kunjung bosan, tidak jenuh melarikan jemarinya di atas bilah kaca jendela di hadapannya itu. Perlahan. Merangkai huruf-huruf menjadi kata yang.. ia tidak tahu mengapa ia memilihnya dari begitu banyaknya kata dalam bahasa. Haunted by you ..
Febri tercenung, pandangannya menerawang, melayang pada tangannya yang terhenti di satu sudut kata. Telunjuk memaku pada sisi itu, sisi dingin yang membekukan kaca itu, mengalir melewati buku-buku jemarinya, mematikan syaraf-syaraf ujungnya hingga rasanya... tidak terasa apapun. Hampa.
~***~
Febri berdiri di sana, di tepi gedung bertingkat itu. Menumpukan kedua tangannya pada dinding dengan lugu, menopangkan dagu, tatapannya melayang pada setiap orang dan jatuh pada seseorang. Tiba-tiba, udara di sekitarnya menjauh, mengasingkannya dalam kehampaannya sendirian, melumat banjir emosi di jiwanya. Mengapa ia harus merasa sedih? Tapi marah? Tapi bahagia? Tapi.. mengapa? Namun galau itu tidak bertahan, setidaknya tidak seumur hidup karena sejauh ini belum membunuhnya.
“Heh.. nglamun lagi!” kata Rosi mengejutkannya dan seketika itu semua angan lawasnya melayang hilang entah ke mana membawa sebersit asanya. Begitu selalu, hingga ia yakin suatu saat asa itu akan habis. Habis kemungkinan. Akan sekedar membekas dalam memori yang tak akan musnah kecuali bersama dirinya.
“Haha, eh.. ngapain Ros?” tanya Febri kemudian. Raut wajah lelahnya, mata sayupnya, bicaranya yang kian hari semakin ngelantur, tapi semangatnya tidak tampak seperti pertanyaannya. Pertanyaan itu bukankah bukan yang seharusnya ia tanyakan?
“Haha, kamu itu yang ngapain?” Rosi membalas bertanya. Namun jawabannya tak penting lagi karena ia tahu setelah ia yakin yang berdiri di sana. Saat matanya melayangkan tatapan menuduh pada orang itu namun lebih tepatnya menduga. Tapi beberapa saat kemudian ia yakin, pasti dia masalah di sini. “Dia??” tanya Rosi dengan nada memastikan.
Febri hanya tersenyum seulas lalu mengangguk pelan. Senyum Rosi ikut mengembang meski sesaat lalu terkikik sambil menatap sahabatnya yang dimakan galau beberapa bulan terakhir ini. Ia merangkul sahabatnya itu sambil menggelengkan kepala,
“Sabar.. Gimana? Sms kamu dibales nggak?”
Wajah Febri tetap percaya diri namun tiba-tiba raut itu bercampur gusar yang sebenarnya sudah berkecamuk sejak ia mendapati orang itu di sana. Lalu Febri hanya menggeleng tanpa menemukan kata yang paling tepat untuk disampaikan sesuai isi hatinya sekarang.
~***~
Apa arti terima kasih cinta sebenarnya?
Febri ingat saat Eka memintanya mengiringinya menyanyikan lagu Terima Kasih Cinta. Hal itu cukup melegakan hatinya, saat itu.. Tapi apakah makna lebih itu masih bermakna sama? Sekarang?
Ia mencoba mengingat-ingat lagi beberapa masa lalu yang menebar kenangan entah indah atau pahit. Ya, saat hari ulang tahunnya.. Saat hari ulang tahun laki-laki itu juga.. Saat laki-laki itu merekam dirinya sendiri dan menyatakan kata yang terlalu menyenangkan untuk menyakitkan, tapi terlalu menyakitkan untuk terus dibayangakan. Dan bunga-bunga yang saat itu bersemi entah ada hujan yang berusaha membanjiri bumi atau terik yang berusaha memecahkan kerak bumi ini. Siapa peduli? Yang terpenting, tiada musim pun kehidupan terasa senormal-normalnya hidup, tiada kemarin  pun kenangan itu seolah sudah semestinya hidup bagaimana pun jadinya dunia ini, tertahan dalam kini, esok, dan selamanya. Dan justru keistimewaan masa itu yang membuatnya tersiksa. Sekarang.
Dan... suatu hari
Hanya ada Dinar, Febri, dan Nida di tempat itu. Terduduk di atas kursi biru yang bersaksi atas kisah masa lalu mereka hingga saat itu dan esok dan entah sampai kapan. Tanpa mereka sadari, bendungan dalam hati dan kelopak mata mereka, sekat nafas mereka terkuak.. Dan Febri berkata..
“Aku.. pernah melayang di antara hidupku yang bahagia bersama harapan-harapanku yang semakin nyata dan kehancuranku yang saat itu memang belum pasti namun semakin melaju, menikam jejak langkahku dan yang aku takut.. menikam harapanku. Dan benar saja, saat aku melayang bersama bintang yang berpijar itu, terlalu menyilaukan hingga aku tidak sadar kehancuran itu sudah menyusulku. Melangkah lebih di depan dan hingga saat ini...” Febri berhenti bicara, bernafas beberapa sajak lalu mengumpulkan kekuatan lagi untuk bicara. Mengumpulkan kata yang dapat mengungkapkan isi hatinya tapi masih mungkin disampaikan.
“Yaa, kalian pasti tahu rasanya... Aku menunggu, aku di situ terpaku teruntuk waktu terlampau panjang, terlampau menyakitkan membayangkan aku terpuruk begitu lama dibendung aurora lalu kini.. hah, lucu sekali. Kini aku membeku karena jatuh dalam genangan glesier.. Lebih lucunya, ia juga hanya menunggu selama ini. Setelah kesan-kesan itu berlalu, ia pikir segalanya juga berlalu dan... rasa itu juga. Ia menunggu seseorang yang menunggunya? Dan akhirnya... hah, dia sudah menyanyikan lagu itu untuk orang lain, setelah menuai luka yang terlalu.... bersimbah di sepanjang umurku,”lanjut Febri.
Dinar yang duduk paling ujung, duduk memeluk lutut sambil menumpukan dagunya ke puncak lututnya. Kemudian ia berkata,
“Aku mencintai seseorang yang diharapkan sahabatku, bagaimana menurutmu?”
Febri tidak tampak begitu terkejut mendengarnya, bisa jadi ia sudah tahu masalahnya. Tapi Nida tampak sangat menyesal mendengarnya dan memohon agar Dinar menjelaskan padanya, bagaimana hal itu bisa terjadi..
“Haha, lucunya.. aku sungguh percaya pada dia. Jadi, dia tahu segalanya bahkan detil terpenting dan terbungkam perasaanku ini. Hingga saat ini, jika aku bertemu Tian, aku masih merasakan degup jantungku melaju.. tapi, bukankah hal itu tak penting lagi, baginya dan seharusnya bagiku., karena Tian kini sudah bersama Ana. Aku tak ingin menjadi penghianat bagi orang-orang yang kusayangi,” terangnya.
Menatap wajah Nida yang masih bertanya-tanya, ya.. lalu bagaimana dirinya sekarang? Menurut Nida, dia terlalu mementingkan kebahagiaan orang lain bahkan melupakan dirinya sendiri. Seolah menyadari itu, Dinar menambahkan..
“Siapa bilang aku tidak bisa lagi menegakkan kedua kakiku? Ya, walaupun aku harus melalui gurun berkerikil, atau ladang lumut, atau samudera karang.. inilah aku sekarang, yang tak mungkin memungkiri keadaan itu bagaimana pun juga,” lanjutnya.
Dan Nida pun menceritakan yang terjadi padanya.. Ternyata kisah perasaan, kasus cinta, dan hasil kebungkaman mereka.. semuanya nyaris sama. Membuat mereka mudah memahami satu sama lain.
Lalu Febri pun menghela nafas berat dan menarik ponselnya dari saku, membaca nama di layar ternyata sms dari kakaknya yang telah datang menjemput. Keluar dari pesan itu, terdaftar pesan-pesan lain.. pesan sehari yang lalu. Ucapan ulang tahun untuk.. dia, yang telah menyanyikan Terima Kasih Cinta untuk gadis lain.
~***~
Suatu siang, di depan sebuah ruangan.. Febri duduk meringkuk di sisi dinding lantai dua bersama Zahra. Bersama beberapa orang lain yang akan terlalu banyak jika disebutkan satu per satu. Kemudian sosok famiiliar, sangat familiar, bagian dari.. masa lalu Febri berjalan melewati tempat itu. Berbasa-basi, berbincang-bincang dengan beberapa orang lain, bukan Febri, di tempat itu. Mungkin tak ada lagi sebersit pun pikiran untuk memulai perbincangan dengan Febri lagi secara normal. Setelah yang berlalu ini? Yaa, semua itu menerjunkannya terlalu cepat hingga semua terasa memuakkan dan mengabur. Tiba-tiba Zahra menyapa Eka lalu berbasa-basi dengan cara yang mengguncang Febri,
“Mas! Hei.. Kamu dulu suka, kan sama Febri??!” tanyanya penuh canda. Namun hal itu tetap tidak bisa benar-benar menjadi canda bagi Febri.
“Hahaha, iya,” jawab Eka ringan tanpa sedikit pun menatap Febri. Meski mungkin itu lebih baik, karena Febri tidak akan tahan melihat dirinya sendiri dikasihani karena tampangnya yang tak bisa menyembunyikan kepedihan. Namun kekecewaan karena sikap ‘menyepelekan’ Eka pun tak bisa dipungkiri. Sama sekali.
~***~
Aku belum pernah merasa diriku begitu melambung dan semakin mendekat dengan angkasa tanpa tapal batas. Itu berarti, aku semakin dekat dengan kehampaan?? Dan ketika aku benar-benar tiba di ruang hampa itu, aku tak memiliki daya tarik lagi.. Aku di sana, selamanya. Tak mampu terbang lebih jauh, namun tak mungkin jatuh. Melayang. Dan aku belum pernah merasakan nafas yang begitu menyesakkan, kegelapan yang terlalu memilukan, dan keheningan yang terlalu membungkam..

0 komentar:

Posting Komentar

Thank's.. Leave another comment :)

 
© Copyright 2035 Scarlet Threads Me
Theme by Yusuf Fikri